bakabar.com, WASHINGTON – Berbagai kelompok hak asasi manusia dan pendukung imigran pada Jumat (31/01) lalu mengecam perluasan larangan perjalanan yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Larangan imigrasi Muslim ke AS itu dinilai mempersenjatai hukum imigrasi untuk memajukan agenda xenofobia pemerintah.
Pemerintahan Trump memperluas larangan perjalanan atau imigrasi masuk ke AS dengan menargetkan calon imigran dari negara-negara, termasuk Eritrea, Kirgistan, Myanmar, Nigeria, Sudan, dan Tanzania. Perluasan larangan itu akan mulai berlaku pada 21 Februari mendatang.
Di bawah proklamasi itu, Sekretaris Keamanan Dalam Negeri, Chad Wolf, mengatakan pada Jumat lalu Amerika Serikat akan menangguhkan penerbitan visa yang dapat mengarah ke tempat tinggal permanen bagi warga negara Eritrea, Kirgistan, Myanmar dan Nigeria. Menurutnya, Visa yang terkena dampak berbeda dari visa pengunjung non-imigran, yang tidak akan terkena dampak larangan tersebut.
Wolf mengatakan, pemerintah AS akan berhenti mengeluarkan visa keanekaragaman untuk warga negara Sudan dan Tanzania. Visa tersebut tersedia dengan undian untuk pelamar dari negara-negara dengan tingkat imigrasi rendah ke AS.
Wolf menambahkan, enam negara baru itu gagal memenuhi standar keamanan dan standar berbagi informasi AS. Sehingga, mendorong munculnya pembatasan baru tersebut. Masalah yang dikutip Wolf berkisar dari teknologi paspor di bawah standar hingga kegagalan bertukar informasi yang cukup tentang tersangka dan penjahat terorisme.
“Negara-negara ini, sebagian besar, ingin membantu. Tetapi karena berbagai alasan berbeda hanya gagal memenuhi persyaratan minimum yang kami tetapkan,” ujar Wolf, dilansir di Aljazirah, Minggu (02/02).
Perluasan larangan perjalanan oleh Trump ini lantas menuai berbagai kecaman. Kelompok-kelompok HAM mengatakan, pemerintahan Trump terus mendorong supremasi kulit putih dan kebijakan eksklusif yang mendiskriminasi berdasarkan kepercayaan, asal kebangsaan, dan status imigrasi.
Seorang pengacara negara di National Security & Civil Rights of Asian Americans Advancing Justice – Asian Law Caucus, Javeria Jamil, mengatakan pemerintahan Trump telah mengkambinghitamkan Muslim dengan aturan larangan imigrasi Muslimnya. Kini, mereka memperluas pembatasan yang sama ke komunitas warna imigran lainnya. Ia menyebut pemerintahan Trump terus memberlakukan persenjataan imigrasi untuk memajukan agenda xenofobiknya.
Kelompok Uni Kebebasan Sipil Amerika (ACLU) juga mengecam larangan Muslim itu dan mengatakan bahwa aturan demikian harus diakhiri, bukannya diperluas. Direktur Proyek Hak Imigran ACLU, Omar Jadwat, mengatakan, keluarga, universitas, dan bisnis di Amerika Serikat membayar harga yang semakin tinggi karena rasisme Presiden Trump.
“Presiden Trump menggandakan kebijakan anti-Muslim dalam tanda tangannya dan menggunakan larangan itu sebagai cara untuk menerapkan lebih banyak prasangka ke dalam praktik itu dengan mengecualikan lebih banyak warna dari komunitas,” kata Jadwat.
Sementara itu, para kelompok pembela hak-hak masyarakat mengatakan bahwa pemerintah AS berupaya memenuhi agenda nasionalis kulit putih. Direktur eksekutif MPower Change, Linda Sarsour, mengatakan Trump sedang memenuhi agenda nasionalis kulit putih di belakang komunitas Muslim dan Afrika. Ia dengan tegas tidak akan mendukung kebijakan tersebut.
“Kami terus marah dengan tindakan pemerintah ini untuk melarang imigran mencari kehidupan yang lebih baik di Amerika Serikat. Semua keluarga kami layak untuk bersama,” kata Sarsour.
Salah satu direktur UndocuBlack Network, Patrice Lawrence, mengatakan larangan imigrasi itu menunjukkan AS memiliki masalah nyata dengan orang kulit hitam. Menurutnya, alasannya terus berubah tentang mengapa pemerintahan Trump ingin mengusir orang-orang berkulit hitam dan cokelat.
“Dan karena tidak ada alasan yang jujur, kecuali rasialisme dan xenofobia. Di balik larangan ini dan sanksi visa adalah orang-orang nyata dengan keluarga nyata, menghadapi rasa sakit dan ketidakpastian karena perpisahan keluarga,” kata Lawrence dalam sebuah pernyataan.
Aksi protes terhadap larangan perjalanan Trump itu diperkirakan akan berlangsung kembali pekan ini. Sementara itu, partai Demokrat di parlemen AS mengumumkan awal pekan lalu bahwa pihaknya akan segera membuat undang-undang yang akan mencabut larangan perjalanan dan membatasi presiden untuk memberlakukan pembatasan berdasarkan agama.
Sebelumnya, larangan perjalanan pertama kali dikeluarkan Trump selama pekan pertamanya menjabat pada Januari 2017. Ia melarang hampir semua imigran dan pelancong dari tujuh negara mayoritas Muslim. Hal ini lantas menuai kecaman dan kekacauan di bandara-bandara di seluruh AS. Kebijakan itu kemudian direvisi di tengah tantangan pengadilan. Namun, Mahkamah Agung AS akhirnya menguatkannya pada Juni 2018.
Versi pelarangan yang ada meliputi negara-negara mayoritas Muslim di Iran, Libya, Somalia, Suriah dan Yaman. Korea Utara dan Venezuela juga menghadapi pembatasan visa, tetapi langkah-langkah itu berdampak pada sedikit pelancong. Pembatasan di bawah aturan larangan perjalanan yang ada akan tetap berlaku.(Rep)
Baca Juga:Pemkab Banjar Gelar Rakor Jelang Haul Sekumpul Ke-15
Baca Juga:DMI: Masjid di Indonesia Tidak Terganggu Saudi Setop Bantuan
Editor: Aprianoor