bakabar.com, KANDANGAN – Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) sangat kental dengan sejarah perjuangan masyarakatnya saat melawan penjajah.
Pada Kamis, 2 Januari 2019 kemarin, Pemkab HSS menggelar peringatan “Perang Kemerdekaan 2 Januari 1949 ke-71”. Peringatan yang dikenal dengan “Palagan Nagara” dilakukan di halaman Pasar Hamayung, Jalan Tugu 2 Januari 1949 Daha Utara.
Hadir dalam acara tersebut, Wakil Bupati HSS, Syamsuri Arsyad, Sekda H.Muhammad Noor, Ketua DPRD H. Akhmad Fahmie, Dandim 1003 Kandangan Letkol Arm. Dedi Soehartono, anggota DPRD HSS, Kepala SKPD HSS, dan keluarga pahlawan pejuang kemerdekaan Nagara.
Berdasarkan buku “Palagan Nagara 2 Januari 1949” yang ditulis H. Lambran Ladjim (2005), pada Oktober 1945, atas prakarsa Panitia Persiapan Republik Indonesia Merdeka (PPRIM) yang diketua oleh Umar Rasyid, dilakukan pengibaran bendera Merah Putih dan nyanyian Indonesia Raya di halaman Kantor Kyai Wedana M.Yusran. Setidaknya 40 orang ikut dalam pengibaran bendera itu.
Peristiwa itu dinilai sebagai tonggak sejarah pertama pengambilalihan sementara pemerintahan di Nagara, sepeninggal Jepang. Ketika itu, Belanda belum datang ke wilayah Nagara.
Pada Desember 1945, datang ke Nagara ekspedisi pertama beranggotakan sembilan orang yang diutus Bung Tomo untuk membentuk pemerintahan RI dan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI). Mereka terdiri H.Ahmad (Ketua), H.Burhan, H.Asnawi, H.Maran, H.Muradi, Jambran, Jaderi, Atu dan Abdul Manaf. Mereka semua juga adalah rakyat Nagara, kecuali H.Muradi yang berasal dari Amuntai.
Mereka tergabung dalam Barisan Pemberontak Penghubung Rakyat Indonesia Kalimantan (BPPRIK) yang sebelumnya singgah di Samuda, Sampit dan terus ke Nagara. Bersama para pejuang setempat, mereka berunding dan mengupayakan perekrutan para pejuang untuk mengantisipasi datangnya pasukan Belanda.
Walaupun suasana politik cukup panas, tapi Nagara relatif tenang sampai 1947. Tentara yang sudah masuk ke Nagara belum menyulut konflik dengan masyarakat, kecuali hanya insiden-insiden kecil.
Masyarakat Nagara saat itu tercatat relatif sejahtera, karena majunya sektor industri kecil dan rumah tangga, terutama kerajinan besi dan perdagangan.
Sama halnya dengan daerah lain yang memiliki basis Islam fanatik, Nagara pun dipandang berbahaya oleh Belanda. Apalagi Nagara termasuk wilayah penghasil ulama. Sampai ada istilah "Belum Alim Kalau Belum Mengaji Ke Nagara".
Belanda mencurigai masyarakat Nagara akan menyuplai logistik dan persenjataan ke daerah-daerah lain, terutama lewat sungai yang saat itu merupakan prasarana transportasi utama.
Paham dengan kondisi seperti itu, Belanda bersiasat. Pada 1948, residen Belanda di Banjarmasin, AG. Deelman mengirim tokoh diplomasi Belanda bernama Vaan der Plaas ke Nagara. Ia datang menjumpai seorang ulama besar Nagara saat itu, KH. Muhammad Djakfar.
Kiai Djakfar diminta untuk menjinakkan masyarakat Nagara untuk tidak melakukan perlawanan, apalagi angkat senjata melawan Belanda.
Iming-iming hadiah pun dijanjikan. Jika mau menurut dengan permintaan Belanda, KH. Djakfar akan diberi diberi jabatan Qadhi Besar di Kalimantan Selatan dan menjadi Ketua Jamiyah Islamiyah Kalimantan Selatan bentukan Belanda. Dia juga dijanjikan akan mendapat gaji besar serta mobil mewah merk Dodge yang saat itu hanya dimiliki dua orang di Kalsel, yaitu Gubernur Belanda dan H.Umar Lampihong.
Tapi permintaan Vaan der Plaas ditolak dengan halus. KH. Djakfar beralasan ia sudah tua, meskipun pada dasarnya, ia sangat menolak penjajahan. Pada akhirnya, KH. Djakfar memang wafat menjelang pengambil-alihan kedaulatan pada 27 Desember 1949.
Kiai Djakfar memiliki putra bernama
H. Muhammad Sa'ya yang tinggal di negeri Hijaz (sekarang Arab Saudi) yang menjadi anggota Komite Kemerdekaan Indonesia. Anak Kiai Djakfar ini selalu mendorong agar perjuangan untuk melawan Belanda terus dikobarkan.
Menurut Bupati HSS, Achmad Fikry,
jika melihat perjuangan rakyat Nagara yang gigih dan tak mudah terbujuk rayuan Belanda, mestinya dapat meningkatkan nasionalisme dan patriotisme masyarakat HSS.
“Persatuan dan kesatuan merupakan modal utama untuk melangsungkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kemajemukan suku, agama, budaya, dan kemajemukan lainnya. Jangan sampai mencerai-beraikan bangsa,” kata Fikry.
Fikry menilai perbedaan yang ada adalah suatu dinamika yang perlu dihormati dengan tetap menempatkan rasa persatuan dan kesatuan di atas segalanya.
Melalui peringatan tersebut, semua dapat merenungkan dan menghayati arti sebuah perjuangan dan pengorbanan, sehingga menjadi inspirasi untuk turut berperan aktif dalam pembangunan sesuai dengan peran, fungsi dan kewenangan masing - masing.
“Saya harap ini bisa dipahami oleh seluruh masyarakat Daha khususnya, dan masyarakat Hulu Sungai Selatan pada umumnya, sehingga kita makin mantap hidup rukun dan damai,” harapnya di hadapan seluruh komponen masyarakat HSS.
Fikry mengatakan kondisi Indonesia saat ini tampak lebih berat dan kompleks. Berbagai isu yang mencuat berpotensi memecah belah bangsa. Menurut Fikry, diperlukan kecerdasan dan kearifan agar dapat memilah dan memilih informasi yang diterima.
“Ke depan, kita harus mampu memaksimalkan kebersamaan dan potensi yang dimiliki agar bisa menjadi daerah yang lebih maju sesuai dengan visi kabupaten kita untuk mewujudkan Kabupaten Hulu Sungai Selatan yang Cerdas, Inovatif, Teknologis, dan Agamis, demi terwujudnya kesejahteraan dunia dan akhirat,” tandasnya.
Baca Juga: Porprov Kalsel 2021, HSS Ingin Tak Hanya Sukses Pelaksana Tapi Juga Prestasi
Baca Juga: Selama HSS Expo, Perputaran Uang Ditaksir Mencapai Rp 3 Miliar
Reporter: Muhammad Fauzi Fadilah
Editor: Puja Mandela