Opini

Melacak Akar Paradigma Keislaman Modern (Islam Liberal, Islam Fundamental, Islam Tradisional, dan Islam Moderat)

Oleh: Abu Zein Fardany WACANA Islam di era belakangan, mengenal beberapa istilah baru yang tidak ditemukan…

Featured-Image
Ilustrasi, Islam. Foto-Net

Oleh: Abu Zein Fardany

WACANA Islam di era belakangan, mengenal beberapa istilah baru yang tidak ditemukan dalam istilah klasik. Sebut saja Islam Liberal, Islam Fundamental, Islam Tradisional, dan Islam Moderat.

Istilah-istilah ini seringkali disalah-pahami sebagai sesuatu yang "baru" dalam Islam. Padahal jika ditelaah lebih jauh, ragam paradigma ke-Islam-an ini dapat kita temukan akarnya di masa lalu. Mari kita coba lacak secara singkat.

1. Islam Liberal

Secara bahasa arti "liberal" adalah bebas. Bebas di sini bukan berarti tanpa batasan. Karena ada label "Islam" maka tentunya kebebasan atau liberalisme pada Islam Liberal tidak seperti liberalisme Barat. Islam Liberal adalah Islam yang menafsirkan teks-teks sumber hukum lebih bebas dari aliran lainnya, khususnya pada kasus hukum yang tidak ditemukan teks sharih dari Alqur'an dan Alhadits yang menjelaskannya secara gamblang.

Membandingkan dengan masa lalu, ini mirip dengan Madzhab Hanafi, di mana metode Istihsan dijadikan sumber hukum manakala tidak ditemukan teks sumber hukum yang secara sharih membahasnya. Karenanya, jangan heran bila kaum liberalis lebih cenderung ke Madzhab Hanafi dalam membedah kasus-kasus hukum modern. Kebolehan adzan dan bacaan shalat dengan bahasa non Arab dalam madzhab Hanafi adalah contoh betapa “liberal”-nya mereka.

2. Islam Fundamental

Secara bahasa "fundamental" adalah kata sifat yang maknanya bersifat mendasar. Berasal dari kata "fundament" yang artinya dasar/pokok.

Islam fundamental bersikap terbalik dari Islam Liberal. Mereka yang menganut aliran ini bersikeras pada tekstual ayat Alqur'an dan Alhadits dalam menjudge sebuah peristiwa. Karenanya, mereka cenderung revivalis dan menutup diri dari pemikiran baru.

Dalam sejarah masa lalu, kita bisa bandingkan dengan Madzhab Hanbali, di mana hadits mursal dan dha'if lebih diutamakan ketimbang qiyas dalam menetapkan hukum. Prinsip dasar aliran ini anti bid'ah atau sesuatu yang baru dalam Islam. Dari prinsip dasar inilah belakangan lahir tokoh semisal asy-Syaikh Ibn Taimiyah dan asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab at-Taimi an-Najdi (pelopor gerakan Wahabi).

Generasi belakang dari mereka lahir lagi Islam Literalis Tekstualis yang mengawinkan antara prinsip Imam Ahmad bin Hanbal dengan rekan seperguruannya, sesama murid al-Imam asy-Syafi'i, yaitu Imam Daud az-Zhahiri. Karena masih agak mirip, kita tidak membahasnya dalam tulisan ini.

3. Islam Tradisional

Islam Tradisional adalah Islam yang mempertahankan tradisi. Alih-alih menghancurkannya, tradisi diakomodir bahkan dalam beberapa kasus dijadikan sebagai landasan hukum yang dikenal dengan kaidah "al-'Aaadah Muhakkamah" (tradisi menjadi landasan hukum).

Melacak sejarah masa lalu, meski kelak ada perbedaan pada perkembangannya, kita mengenal madzhab Maliki, di mana tradisi Ahlul Madinah dijadikan sebagai salah satu sumber hukum oleh Imam Malik. Dengan alasan para penduduk Madinah adalah orang-orang yang mewarisi keilmuan dari para Sahabat yang menerima ilmu langsung dari Rasulullah shallallahu 'alaih wa aalih wa sallam dan wahyu diturunkan di wilayah mereka, maka apa yang mentradisi pada penduduk Madinah menjadi pertimbangan Imam Malik dalam menetapkan suatu fatwa hukum.

4. Islam Moderat

Islam moderat adalah aliran yang mengambil jalan tengah. Membaca sejarah masa lalu, kita mengenal nama al Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i yang memilih jalan tengah dalam menetapkan hukum. Menerima transfer keilmuan dari Imam Malik, sentuhan dialog dengan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid Imam Abu Hanifah), dilanjutkan dialog-dialog dengan murid beliau, Ahmad bin Hanbal, al-Imam asy-Syafi'i mengambil posisi tengah diantara mereka semua.

Alih-alih liberal dengan metode istihsan, fundamental dengan teks, tradisional dengan tradisi penduduk Madinah, al-Imam Asy-Syafi'i mengajukan metode qiyas sebagai titik temu semua aliran tersebut.

Nah, dari ragam paradigma di atas, ada di mana kita? Jangan-jangan kita termasuk orang yang mudah ribut hanya karena kebanyakan mengonsumsi meme hoax di media sosial, lantas mencap diri sebagai penganut Islam murni seperti di zaman Nabi.

Emangnya, kita hidup di zaman Nabi? Eh, sehat bro?

Baca Juga: Konsistensi Perspektif Fiqh

Baca Juga: Alumni Pesantren VS Ustadz Karbitan

img

Abu Zein Fardany. Foto-Istimewa

Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Darussalam dan Ma'had Aly Darussalam, Martapura.

Editor: Muhammad Bulkini

======================================================================

Tulisan ini adalah kiriman dari publisher, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.



Komentar
Banner
Banner