Oleh: Abu Zein Fardany
BERBEDA dengan Madzhab Syafi’i yang memutuskan ibadah sunah boleh dihentikan pengerjaannya, meski sudah memasuki pelaksanaan. Madzhab Hanafi memutuskan, meski suatu ibadah hukum awalnya sunnah, namun bila sudah dimulai pelaksanaannya, tidak boleh lagi dihentikan alias wajib dikerjakan hingga selesai.
Sejak zaman klasik hingga kontemporer, khilafiyah ini mewarnai kitab-kitab Ushul Fiqh. Dari semisal kitab Jam’ul Jawami’ susunan Imam Taaj ad-Diin as-Subki hingga Ushul Fiqh susunan Professor Abdul Wahab Khalaf dan muridnya Professor Abu Zahrah.
Pun juga kitab-kitab Fiqh. Imam Ibn Hajar al-Haytami misalnya, dalam at-Tuhfah al-Muhtaj menulis, “Orang yang sudah memulai melaksanakan puasa sunah, atau shalat sunah, atau ibadah sunah lainnya, selain haji dan umrah, boleh dia batalkan.”
Berbeda dengan prinsip Madzhab Syafi’i, Madzhab Hanafi berpegang pada keumuman makna ayat: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu batalkan amal-amal kalian."(QS. Muhammad: 33)
Meskipun pada ayat sebelumnya membahas tentang terhapusnya amal orang kafir yang menghalangi dari jalan Allah. Yang bila dihubungkan, maka ayat 33 tersebut dipahami dengan murtad berdampak pada membatalkan atau menghapuskan amal. Yang dimaksud pada larangan membatalkan amal adalah larangan murtad, sebagaimana dibahas al-Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya.
Namun, kalangan Hanafi memperluas pemaknaan ayat bukan hanya sebatas larangan murtad, tapi juga larangan pada membatalkan semua bentuk amal ibadah yang kadung (terlanjur) dimulai pelaksanaannya.
Bila kita renungkan lebih dalam, sebenarnya perbedaan ini berada di ranah konsistensi. Ada yang menilai konsisten tidaknya suatu pekerjaan pada frekuensi dan ada yang menilai pada substansi.
Konsistensi frekuensi adalah penilaian konsisten tidaknya pada kesinambungan pekerjaan. Seseorang dinilai tidak konsisten bila ia terlihat berhenti melakukan pekerjaan yang telah dilakukannya. Dalam hal ibadah dicontohkan shalat sunnah dan puasa sunnah.
Sementara konsistensi substansi adalah penilaian konsisten tidaknya pada substansi yang dikerjakan. Dalam hal ibadah adalah ketaatan pada Tuhan. Apapun bentuk ibadahnya.
Kebanyakan orang menilai berdasarkan frekuensi. Sehingga bila ada yang bergonta-ganti pekerjaan, meski secara hasil lebih meningkat, dianggap tidak konsisten.
Pola penilaian ini berdampak pada hubungan sosial dan politik. Pemerintahan Jokowi misalnya, dinilai sebagian orang tidak konsisten dengan janji-janjinya hanya dengan memandang beberapa proyek yang pernah dijanjikan semisal Mobil Esemka tidak terdengar kabar berita dilanjut tidaknya. Padahal, bila kita menilai dengan pola substantif, beliau masih konsisten pada kebijakannya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Saya kira -wallahu a’lam bishshowab- kita perlu untuk merubah pola penilaian kita terkait konsistensi. Dari semula frekuensi kepada substansi. Sehingga tidak mudah menuduh seseorang tidak konsisten hanya karena ia terlihat tidak melaksanakan apa yang pernah diucapkan atau dijanjikan.
Bukankah Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaih wa aalih wa sallam sendiri pernah menyatakan:
“Sesungguhnya aku, insya Allah, tidak bersumpah dengan suatu sumpah (lalu melihat ada yang lebih baik darinya) kecuali melakukan yang lebih baik dan membatalkan sumpahku dengan membayar kafarah." (HR. Bukhari dan Muslim).
Baginda Nabi saja lebih memilih membatalkan sumpah bila di kemudian hari melihat ada yang lebih baik. Maka apakah lagi kita?
Menurut Sampeyan?
Baca Juga: Pesantren Darussalam Martapura dan Pertaruhan Anak Santri
Baca Juga: Alumni Pesantren VS Ustadz Karbitan
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Darussalam dan Ma'had Aly Darussalam, Martapura.
Editor: Muhammad Bulkini
======================================================================
Tulisan ini adalah kiriman dari publisher, isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.