Tak Berkategori

Bilik Cinta di Sungai Bagau: Memori Indah Dari Sebuah Lokalisasi

apahabar.com, BANJARMASIN – Nama Bagau di Kota Banjarmasin sangat identik dengan bisnis prostitusi. Menyebut nama ini…

Featured-Image
Begau prostitusi legendaris di Banjarmasin. Ternyata Begau adalah nama kampung tua di Banjarmasin. Foto-Kumparan

bakabar.com, BANJARMASIN – Nama Bagau di Kota Banjarmasin sangat identik dengan bisnis prostitusi. Menyebut nama ini konotasinya selalu mengarah ke tempat pemuasan hasrat kaum Adam. Dibalik itu, ternyata Bagau menyimpan catatan sejarah panjang. Bagau adalah nama kampung tua di Banjarmasin.

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya Kalimantan (LKS2B), Mansyur mengutip Idwar Saleh dalam risetnya Banjarmasih, memaparkan Kampung Bagau mulai muncul dalam catatan historis sejak Abad ke 19.

Pada abad ini, kata Mansyur, kebiasaan Ngayau dan sebagainya belum dapat dihapuskan di wilayah Borneo. Oleh sebab itu, terkadang kebiasaan ini menjadi ancaman keamanan kampung-kampung di Karesidenan Borneo bagian Selatan dan Timur (sekarang Kalimantan Tengah).

Kondisi tidak aman tersebut, sambung dia, menyebabkan seorang penduduk Kampung Mandomai di Kalimantan Tengah dengan seluruh keluarganya pindah ke Banjarmasin. Kampung Mandomai yang dimaksud diperkirakan wilayah Mandomai, Kecamatan Kapuas Barat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah sekarang.

“Migran” dari Suku Dayak ini dipimpin oleh Rajam. Rajam dan keluarganya memiliki wilayah otonom, yakni sebuah anak sungai yang merupakan bagian dari anak Sungai Martapura. Tepatnya di seberang Teluk Tiram. Oleh Rajam, sungai ini diberi nama Sungai Bagau. Gau dalam Bahasa Dayak artinya cari (mencari yang belum ada).

“Jadi Sungai Bagau artinya Sungai Bacari dalam pengertian sungai tempat mencari rezeki untuk hidup,” sebutnya.

Baca Juga: Catatan Sejarah dari Kampung Tua Banjar Sungai Jingah

Menurutnya, keterangan tersebut benar adanya. Pada sumber lain yang dirilis Pemerintah Hindia Belanda tahun 1838, yang dimuat dalam riset Dana Listiana (2011), sebelum dibentuk Keresidenan Borneo (Kalimantan) bagian Selatan dan Timur di mana Banjarmasin menjadi tempat residen berkedudukan.

Bandjermasin atau biasa disingkat dengan Banjer (Banjar) sepertinya memiliki lokus lebih luas yakni meliputi daerah yang terbentuk oleh Sungai Banjar kecil atau Sungai Martapura mulai dari Schans van Tuil (Mantuil) hingga menuju Kuin lalu bertemu dengan Sungai Banjar Besar atau Sungai Barito. Wilayah yang terbangun di tepian sungai adalah permukiman berupa kampung kampung (distrik) berupa wilayah yang kecil namun padat penduduk.

Setiap distrik ini dikepalai oleh seorang kepala distrik yang disebut kiai dan bertempat di Banjarmasin. Sekitar tahun 1824 disebut bahwa Kampung Cina, Kampung Loji, Amarong, Antasan Besar, Kuin, Gayam, Benyiur (Banjioer), Antasan Kecil, Rawa Kuin, Binjei, Jawa Baru, Sungai Baru, Pekapuran, Kalayan Besar, Bagauw (Bagao), Bahauer (Bahaoer), Besiri (Basirih), dan van Tuil (Mantuil).

Sumber sezaman lainnya, Tijdschrift voor Neerland’s Indie (Jurnal Hindia Timur) tahun 1838 pun mencatat bahwa dalam tiga jam perjalanan melewati sungai akan mencapai wilayah Kampung Banjar. Cuma sebelumnya akan melewati wilayah kampung Dayak (Daijaksche Campongs) yakni Besserie (Basirih), Bagaauw (Bagau) dan Bahauer (Bahaur), yang terletak di tepi sungai.

Pada jurnal tersebut juga dipaparkan, di tahun 1838 kampung-kampung di wilayah ibukota Banjarmasin (Kota Gubernemen) adalah Kampung Cina, Kampung Loji, Antasan Besar, Amarong, dan Dekween yang meliputi Kampung Gayam, Banyiur, Antasan Kecil, Rawa Kween, Binjai, Jawa Baru, Sungai Baru, Pekapuran, Kelayan Besar, Bagau, Bahaur, Basirih dan van Thuijl. Jumlah penduduknya sekitar 3000 jiwa.

Dalam kamus bertitel Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie, tahun 1861 yang direpro ulang oleh VJ Veth tahun 1869 juga memaparkan wilayah Bagaauw (Bagau) adalah kampung utama yang menjadi wilayah Banjarmasin.

Menurut Dana Listiana (2011) hingga peta Hindia Belanda tahun 1926 dan 1945 kampung-kampung tersebut masih disebut dan berada berjajar di tepian kanan dan kiri Sungai Martapura. Sementara Kampung Gayam dan Binjei yang juga disebut dalam Tijdschrijft voor Neerland's Indie tahun 1838, tidak diketahui lebih jauh.

Diperkirakan Sungai Bagau, pada awal abad ke -20, menjadi tempat sakral. Wajar jika pada saat Amir Hasan Kiai Bondan dalam bukunya Suluh Sedjarah Kalimantan, memposisikan Muara Bagau sebagai tempat keramat pertama dari 20 tempat khusus yang dihuni oleh orang gaib di wilayah Banjarmasin dan sekitarnya.

Pada wilayah sungai Bagau awal abad ke-20 juga ditempati habitat buaya. Koran Soerabaijasch Handelsblad, edisi 12 Mei 1906 dalam kolom berjudul Gemengd Indisch Nieuws, melaporkan bahwa tiga orang baru-baru ini diserang oleh buaya di Bandjermasin, satu hilir dari pohon di mulut Soengei Bagau. Kemudian, satu di dekat Soengei Loeloet (Sungai Lulut) dan satu lagi di dekat Kampung Koeiling Benteng (Keliling Benteng).

Dengan lokasi lumayan strategis, wilayah Bagau pada masa Hindia Belanda difungsikan sebagai tempat penyimpanan bahan bakar bensin. Sebelum masuknya Jepang ke Kota Banjarmasin 8 Februari 1942, lokasi ini dibumi hanguskan sehingga menjadi lautan api. Pasar Baru, Ujung Murung, Pasar Sudimampir dan Pasar Lima dibakar. Penyimpanan bensin di Banua Anyar dan Bagau pun musnah.

Pada kedua wilayah ini memang menjadi tempat penimbunan kaleng-kaleng minyak tanah, minyak pelumas, bensin, serta bahan bakar pesawat. Selain itu, karet di gudang-gudang Mac Laine & Watson di Ujung Murung, bangunan Fort Tatas juga ludes dilalap si jago merah.

Dalam perkembangannya, pasca kemerdekaan, letak geografis Provinsi Kalimantan Selatan yang strategis terhadap akses perdagangan barang dan jasa antar pulau menjadikan pendorong maraknya praktek pelacuran di Kalimantan Selatan, khususnya kota Banjarmasin. wilayah Bagau beralih fungsi menjadi lokalisasi.

Sayangnya, belum didapatkan data pasti kapan dimulainya bisnis seksual di wilayah ini. Majalah Tempo volume 5 edisi tahun 1975, hanya menuliskan pernyataan pejabat PLN Banjarmasin, Daud, bahwa hampir seluruh kampung di Kodya Banjarmasin sudah bermain dengan kerlap-kerlip cahaya listrik. Bahkan kompleks Wanita Tuna Susila (WTS) Bagau pun di tahun 1975 bakal dapat giliran pemasangan listrik.

Dari Memori pelaksanaan tugas Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan tahun 1980, tercatat WTS di Kalimantan Selatan berjumlah 615 orang dan mucikari sekitar 100 orang. Dari jumlah ini yang terbanyak terdapat di Kotamadya Banjarmasin (Lokalisasi Bagau) dan Lokalisasi Pembatuan, Kabupaten Banjar. Lokalisasi Bagau mengalami kebakaran hebat dalam bulan April 1980.

Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1990 lokalisasi ini ditutup. Muʾman Nuryana dalam risetnya (2003), menuturkan lokalisasi wanita tuna susila Ria Bagau dilarang beroperasi mulai tahun 1990, berdasarkan Peraturan Daerah. Dari data tahun 1990, jumlah jumlah WTS adalah 287 orang dengan jumlah germo 18 laki laki dan 7 orang perempuan. Pemda Kodya menutup Lokalisasi Bagau dan menindaklanjutinya dengan program rehabilitasi dan resosialisasi untuk membina perempuan pekerja seks pasca penutupan lokalisasi. Walaupun demikian, lokalisasi ini masih tetap beroperasi dalam senyap.

Karena itulah, pada tahun 1991 Lokalisasi Bagau ditutup secara resmi oleh Pemerintah Daerah Kotamadya Banjarmasin. Sebelumnya sempat menjadi perdebatan publik di kalangan masyarakat atas keberadaannya yang sangat bertentangan dengan keyakinan Agama Islam.

Baca Juga: Apa Kabar Kota Tua Kampung Sungai Jingah Banjarmasin?

Baca Juga: Sejarah Kampung Basirih; Asal Nama Hingga Suku Pertama yang Menghuni Wilayah Itu

Reporter: Muhammad Robby
Editor: Syarif



Komentar
Banner
Banner