Eksotisme suku dayak di pedalaman Kalimantan selalu menarik untuk dilihat. Keberadaan tradisi mereka menambah khazanah ragam kebudayaan Indonesia di mata dunia. Salah satunya, seperti acara adat Balian suku dayak Ma'anyan Barito Timur, Kalimantan Tengah dalam merayakan suatu pernikahan.
Arif Nur Budiman, TABALONG
Gerak tangan dan kaki para muda mudi suku dayak Ma'anyan terlihat seirama. Seiring lantunan musik khas dayak yang dimainkan. Sesekali improvisasi ditunjukkan, namun tarian itu tetap terlihat indah di mata para tamu dan undangan.
Belakangan, diketahui tarian itu bernama tari Bawu Dadas. Tari Bawu diperagakan para penari wanita. Sementara si pria menarikan tarian Dadas. Tari tarian tersebut merupakan salah satu dari rangkaian acara adat Belian.
Acara adat belian adalah suatu prosesi adat suku Dayak Ma'anyan yang sudah turun menurun. Dilaksanakan oleh warga Desa Bamban, Kecamatan Benua Lima, Kabupaten Barito Timur Kalimantan Tengah.
Biasanya Adat Belian dilaksanakan ketika ada peristiwa penting di desa tersebut, baik itu kematian maupun pernikahan.
Secara geografis, Desa Bamban berbatasan dengan Desa Pasar Panas, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan yang kental dengan budaya melayunya. Namun, kondisi itu tidak membuat adat Desa Bamban sedikit pun terpengaruh dengan budaya luar.
Baca Juga:Made Wardana Bawa Budaya Bali ke Eropa Selama 22 Tahun
Akhir pekan tadi, secara kebetulan bakabar.com mendapat kesempatan secara langsung melihat acara Adat Balian tersebut.
Pelaksanaan Adat Balian kali ini dalam rangka resepsi pernikahan salah seorang gadis yang berasal dari desa tersebut.
Sandin, Penghulu Adat Desa Bamban menjelaskan bagi siapapun yang berniat ingin meminang gadis dari desanya wajib hukumnya mengikuti aturan yang berlaku, sesuai dengan adat isitiadat setempat.
"Kebetulan pengantin pria berasal dari Tanjung Tabalong, namun siapa pun dia wajib mengkuti aturan adat kita," ucapnya.
Sandin mengaskan sebelum calon pengantin di pertemukan dan duduk di kursi pelaminan, ada runutan tata cara yang harus mereka jalani terlebih dahulu.
"Pengantin tidak boleh langsung dipertemukan, karna masih ada prosesi adat yang harus mereka jalani," tambahnya.
Selanjutnya, calon mempelai pria akan di jemput oleh para penari pria. Lalu dibawa menuju pintu gerbang pelaminan, terbuat dari daun kelapa yang masih muda atau sering disebut janur kuning.
Setelah sampai di depan janur kuning yang dihiasi dengan beranekan ragam buah buahan lokal, mempelai pria akan di sambut oleh penari wanita. Namun, mempelai pria tidak boleh langsung melewatinya begitu saja, karena masih terhalang oleh sebatang tebu.
Tebu itu sendiri nantinya akan di potong oleh seorang Mantir atau juru bicara dari kedua belah pihak mempelai.
Prosesinya tentu saja sambil diiringi dengan tarian tarian. Selain itu, ucapan ucapan yang menurut sebagian warga adalah "mantra", agar pelaksanaan resepsesi pernikahan itu di berkahi sang pencipta.
Sandin menjelaskan mantra itu dari Bahasa Pangunraun atau bahasa budaya yang selalu diucapkan setiap pelaksanaan Adat Belian. Namun, bukan merupakan bahasa sehari hari mereka.
"Bahasa Pangunraun hanya dipakai saat Adat Belian, untuk sehari hari kita menggunakan bahasa Ma'anyan," terang Sandin.
Setelah prosesi di depan janur kuning selesai, tebu yang tadi digunakan sebagai simbol penghalang antara kedua mempelai akhirnya dipotong. Selanjutnya pengantin pria digiring para penari ke dalam rumah mempelai wanita, guna melakukan prosesi adat selanjunya.
"Di dalam rumah mempelai wanita nantinya akan diadakan acara pemenuhan adat," sebut Sandin.
Selama pelaksanaan acara pemenuhan berlangsung, nantinya akan ada sejumlah uang yang harus dibayar oleh kedua belah pihak mempelai. Sesuai dengan aturan adat yang berlaku.
Uniknya, biaya yang dikeluarkan untuk pemenuhan adat ini, tidak hanya ditanggung oleh pihak mempelai pria. Namun, pihak mempelai wanita juga turut menanggung kewajiban itu.
Acara pemenuhan adat dipimpin langsung oleh penghulu adat, turut pula dihadiri oleh kepala desa dan sekretaris desa.
Menurut penjelasan Sandi, ada 11 hal yang wajib hukumnya dilakukan kedua pihak mempelai saat acara pemenuhan adat berlangsung.
"Pertama, yaitu di membayar Keagungan Mantir sebesar Rp75 ribu yang dibayar oleh kedua belah pihak mempelai," tutur Sandi.
Selanjutnya yang ke dua, membayar Nyurung Lantai sebesar Rp37.500. Ke tiga, membayar Pilangkahan Rp75.000. Ke empat, membayar Pangawitu Tutur sebesar Rp75.000. Selanjutnya yang kelima, membayar Sapu Hirang Rp 37.500.
Ke enam, membayar Pengakuan Anak sebesar Rp37.500. Ke tujuh, membayar Nguka Supu Sinnai Rp75.000. Ke sembilan, membayar Saki Pilah sebesar Rp37.500. Ke sepuluh, membayar Kalakar Taliwakas sebesar Rp37.500. Dan yang terakhir membayar Panyawu hiyag sebesar Rp37.500.
Setelah acara pemenuhan adat selesai, mempelai pria masih belum boleh dipertemukan langsung dengan mempelai wanitanya. Karena masih ada lagi satu tahapan acara adat yang harus di laluinya.
Adat terakhir itu dinamakan mengejar Burung Juai atau mencari mempelai wanita.
Nantinya mempelai pria akan disuruh mencari mempelai wanita diantara sekelompok penari wanita. Namun uniknya, mempelai wanita sengaja disembunyikan agar mempelai pria melakukan kesalahan dalam mencari wanitanya.
Dan setelah melakukan kesalahan, sekitar empat sampai lima kali, baru kemudian mempelai wanita akan di keluarkan. Lalu digiring menuju pelaminan bersama sang mempelai pria.
Nah, baru kemudian kedua mempelai dapat duduk di pelaminan, guna menyambut para tamu undangan yang datang di resepsi pernikahan meraka, sampai berakhirnya acara tersebut.
Baca Juga: Kewafatan NH Dini Ramai Diberitakan, Kenapa Dia Begitu Dikenal?
Editor: Ahmad Zainal Muttaqin