Tak Berkategori

Kaleidoskop 2018: Narkoba Picu Kekerasan Anak dan Perempuan di Kalsel!

Akhir 2018 menandai kehadiran portal media apahabar.com. Sejumlah pemberitaan dari lokal untuk nasional tersaji sepanjang kehadiran…

Featured-Image
ILUSTRASI: Pemusnahan barang bukti narkotika jenis sabu. Foto – mitrapol.com

Akhir 2018 menandai kehadiran portal media bakabar.com. Sejumlah pemberitaan dari lokal untuk nasional tersaji sepanjang kehadiran bakabar.com di akhir tahun anjing tanah ini.

bakabar.com, Banjarmasin

Sepanjang 2018, Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Kalimantan Selatan menangani 28 kasus tindak penyalahgunaan narkotika.

Kabid Pemberantasan AKBP Edy Saprianadi mengatakan, totalnya 44 tersangka dan 2 tersangka yang terlibat Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Mereka berhasil diamankan dalam beragam operasi.

Plh Kepala BNNP Kalsel ini melanjutkan, 1.249,98 gram sabu dan 500 butir ekstasi dari tangkapan itu.

Dia menjelaskan, sebagian yang ditangkap sebagai korban atau pemakai, umumnya diarahkan guna direhabilitasi.

“Beda dengan yang sudah memiliki track record buruk di dunia hitam narkoba meski saat ditangkap tidak ditemukan barang bukti tetap kita proses hukum,” tegasnya,

Edy menerangkan, BNNP Kalsel juga melakukan upaya pencegahan dengan melakukan sosialisasi bahaya penyalahgunaan narkoba pada 4.000 orang pada lingkungan masyarakat.

BNNP Kalsel juga telah membentuk relawan anti narkoba dari berbagai kalangan di Kalimantan Selatan sebanyak 221 orang.

Borneo Law Firm (BLF) menilai, penyalahgunaan narkoba seakan melahirkan tindak pidana khususnya kekerasan dan pembunuhan yang jumlahnya tak sedikit.

Dampak lain, tak sedikit perceraian rumah tangga terjadi akibat penyalahgunaan narkoba.

Tingginya angka penyalahgunaan narkoba menjadikan Kalimantan Selatan (Kalsel) sebagai wilayah langganan kasus kekerasan perempuan dan anak.

BLF menilai peningkatan kasus kekerasan di Kalimantan Selatan berbanding lurus dengan melonjaknya kasus narkoba.

“Sepanjang 2018, terdapat 80 perkara kasus narkoba yang disidangkan. Ini menjadi tren kasus di Banjarmasin sekitar 50 persen,” beber Direktur Borneo Law Firm (BLF), Muhammad Pazri kepada bakabar.com.

Dia menilai peningkatan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kalsel 2018 dikarenakan tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat akan hukum masih rendah. Ditambah, minimnya nilai keagamaan di dalam diri individu yang bersangkutan.

“Lantaran masih rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya nilai keagamaan di dalam diri individu tersebut,” ucapnya.

Berdasarkan perspektif hukum, Pemprov Kalimantan Selatan melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) perlu berperan aktif dalam mengimplementasikan Perda tentang Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), dan Perda tentang Bantuan Hukum.

Sebagai pengingat, kedua Perda tersebut sudah diketuk palu oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Selatan.

“Ini tinggal dioptimalkan sesuai dengan tugas dan fungsi lembaga yang melaksanakan dengan menyasar masyarakat kelas bawah,” cetusnya.

Baca Juga: Polres Nunukan Musnahkan 8,769 Kg Sabu-Sabu

Ia menegaskan bahwa perlu adanya sebuah evaluasi hukum dalam menurunkan kasus kekerasan di Kalimantan Selatan. Dengan cara memperbaiki prosedur atau mekanisme dalam penegakan hukum.

Dalam artian, penegak hukum lebih mempermudah terhadap masyarakat dalam mekanisme hukum. “Juga perlu diminimaliskan kehadiran calo atau pungli dalam penegakan hukum,” tegasnya.

Dia berharap agar prosedur hukum harus memberikan pelayanan cepat dan biaya murah. Pazri berujar, masyarakat jangan takut berhadapan dengan hukum lantas berpikir bahwa hukum selalu bersinggungan dengan uang.

Pazri menegaskan bahwa prosedur administrasi harus dipangkas dan pengawasan di internal penegakan hukum meski diperkuat khususnya di internal kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan.

“Perlu adanya pengawasan aktif dari penegak hukum dan tanpa menunggu laporan dari masyarakat,” tutupnya.

Sepanjang 2018, Kalimantan Selatan mencatatkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat. Dari catatan media ini, kasus kekerasan di 2018 mencapai 215 kasus. Meningkat dibandingkan 2017 yang hanya 205 kasus.

Kepala DPPPA Kalimantan Selatan, Husnul Khatimah menyebut jumlah itu berdasarkan data terakhir per 22 November 2018. “Ini data dari aplikasi simponi PPA atau sistem informasi perlindungan Perempuan dan anak,” ucapnya kepada media ini.

Sejauh ini sudah 198 kasus tertangani. Sisanya masih dalam proses penanganan. Di satu sisi, peningkatan kasus itu dinilai berbanding lurus dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan.

DPPPA mencatat kalangan pelajar di tingkat sekolah dasar menjadi objek yang paling rentan terhadap kasus kekerasan perempuan dan anak di Kalsel. Sepanjang 2018 terjadi kekerasan pada tingkat SD sebanyak 64 kasus.

Tingkat kekerasan tertinggi berdasarkan pendidikan yaitu SD 64 kasus. Peringkat kedua disusul oleh Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 50 kasus, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 46 kasus, Perguruan Tinggi (PT) 29 kasus.

Di Kalimantan Selatan kelompok usia 24-44 tahun paling rentang mengalami kekerasan. Sepanjang 2018, terjadi sebanyak 60 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada kelompok tersebut.

Kelompok berikutnya usia 13-17 tahun dengan sebanyak 59 kasus; usia 6-12 tahun sebanyak 42 kasus, usia 0-5 tahun sebanyak 29 kasus, usia 18-24 sebanyak 18 kasus, usia 49-59 tahun sebanyak 14 kasus dan usia 60 ke atas sebanyak 2 kasus.

Baca Juga:Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Kalsel Naik, Dewan: Kurang Sosialisasi

Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sebelumnya telah mengembangkan sistem aplikasi pencatatan dan pelaporan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Reporter: Eddy Andriyanto
Editor: Fariz Fadhillah



Komentar
Banner
Banner