bakabar.com, BANJARMASIN – Harga minyak goreng (migor) masih terus bergejolak. Masyarakat sulit memperolehnya. Jika ada, harganya pun selangit.
Di Kabupaten Banjar, sebuah minimarket menjual migor bersyarat dengan jumlah pembelian minimal. Untuk migor senilai Rp14 ribu, total pembelian minimal harus Rp100 ribu. Minimarket ini belakangan kena tegur Pemkab Banjar. Jika kedapatan lagi, izin minimarket bakal dicabut.
Ekonom dari Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Hidayatullah Muttaqin melihat bergejolaknya harga migor dan kelangkaan yang terjadi tak lepas dari keberadaan stok lama pedagang.
Sebagian pedagang memilih menjual dengan harga di atas eceran tertinggi (HET) sebab ketika membeli harganya sudah tinggi.
Berdasar Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP), rata-rata harga migor curah di Pasar Sentra Antasari Banjarmasin per 5 Maret sebesar Rp15 ribu, dan minyak goreng kemasan sederhana Rp14 ribu.
Padahal HET minyak goreng curah sendiri berkisar Rp11.500, dan minyak goreng kemasan sederhana Rp13.500, sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6/2022 yang mulai berlaku sejak Februari lalu.
Menurut Taqin, sudah saatnya pemerintah turun tangan. Dengan mengintervensi atau mengganti kerugian pedagang terhadap stok lama tersebut.
“Pemerintah harus memberikan subsidi harga kepada pedagang agar mereka tidak mengalami kerugian ketika menjual minyak goreng stok lama dengan harga sesuai HET,” ujarnya dihubungi bakabar.com, Minggu (6/3).
Tanpa subsidi, pedagang takkan bisa menjual di bawah harga pokok pembelian. Lantas, mungkinkah hal tersebut dilakukan pemerintah? Secara historis apa sudah pernah dilakukan pemerintah sebelumnya?
Taqin bilang seharusnya bisa. Seperti subsidi terhadap elpiji dan BBM. Namun pengecualian untuk kasus migor, subsidi hanya sebatas menghabiskan stok lama.
“Cara lebih mudah pemerintah melalui Bulog membeli migor stok lama dari pedagang. Lalu dijual ke masyarakat sesuai HET,” ujarnya.
Dibanding rata-rata harga pada Januari 2022, penurunan harga migor di tingkat nasional setelah ada penetapan HET hanya mencapai 11-16 persen.
Menurunkan harga minyak goreng juga tak cukup hanya dengan menetapkan HET, atau sekadar mengintervensi stok lama pedagang.
Pemerintah pusat, kata dia, juga mesti memperbaiki struktur pasar domestik. Saat ini pasar dari sisi produsen bersifat ologopolistik. Artinya hanya ada sedikit pemain.
“Akibatnya terjadi kartel yang mendorong harga minyak goreng mahal dan kadang-kadang langka,” ujar ekonom jebolan Universitas Birmingham Inggris ini.
Merujuk pernyataan resmi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), seperti dikutip dari Antara, ada indikasi kenaikan harga minyak goreng sejak 2021 hasil permainan kartel dengan memanfaatkan terjadinya kenaikan harga crude palm oil atau CPO di pasar internasional.
KPPU juga menyebut hampir separuh dari pasar minyak goreng nasional dikuasai oleh 4 perusahaan saja. Padahal bisnis minyak goreng 4 perusahaan tersebut bersifat vertikal; dari hulu ke hilir. Mereka memiliki sumber pasokan CPO dari perkebunan kelapa sawit.
“Mestinya biaya produksi dan harga minyak goreng menjadi lebih efisien. Tapi yang terjadi sebaliknya,” ujar Taqin.
Lebih jauh, Taqin melihat kebijakan domestic market obligation (DMO) atau kewajiban pasar domestik yang diterapkan pemerintah belum efektif. “Seharusnya seluruh produsen CPO dipaksa mengikuti kebijakan DMO,” tegasnya.
Lagi Langka, Minimarket di Banjar Malah Jual Migor Bersyarat