Sektor batu bara masih menjadi primadona penyumbang produk domestik regional bruto (PDRB) Kalimantan Selatan. Kontribusi pertambangan dan penggalian terhadap PDRB Kalsel dilaporkan mencapai 18,91 persen. Menyusul sektor pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 14,65 persen.
Kendati begitu, nyatanya tingkat serapan tenaga kerja di sektor tambang masih kalah dengan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Justru sektor pertanian, kehutanan, perikanan dan perkebunanlah yang paling banyak menyerap tenaga kerja.
“Sedang pertambangan dan penggalian sedikit sekali menyerap tenaga kerja Kalsel,” ujar Sekretaris Komisi IV DPRD Kalsel, Firman Yusi, dikutip bakabar.com dari Antara, baru tadi.
Dua kabupaten dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) tertinggi di Kalsel justru berada di dua daerah yang memiliki aktivitas pertambangan dan penggalian aktif. “Yaitu Balangan dan Tabalong,” ujar politikus asal Tabalong ini.
Bahkan, BPS melaporkan tingkat serapan tenaga kerja Balangan menjadi yang terendah dibanding Banjarmasin ataupun Hulu Sungai Tengah daerah yang notabene tak memiliki izin tambang.
Data terakhir, Adaro Indonesia memiliki kapasitas produksi baru bara sebesar 51 juta-52 juta ton per tahun dengan luas wilayah 31.380 hektare mencakup Balangan dan Tabalong.
Luas wilayah konsesi Adaro masih kalah luas dengan Arutmin di Tanah Bumbu. Arutmin memiliki produksi batu bara yang diperkirakan mencapai 26,5 juta ton per tahun dengan luas wilayah pertambangan mencapai 57.107 ha. Kendati begitu, serapan tenaga kerja Tanah Bumbu lebih tinggi ketimbang Balangan.
Kondisi demikian, menurut Firman juga selaras dengan mayoritas pekerja Kalsel yang 44,5 persen hanya berlatar pendidikan tidak tamat dan hanya tamatan SD. Minimnya keterampilan memungkinan perusahaan merekrut pekerja dari daerah lain.
Solusi Firman, RPJMD Kalsel 2021-2026 harus benar-benar konsen untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) melalui sinkronisasi program pendidikan dan ketenagakerjaan.
Sektor pertambangan dan penggalian dalam aktivitasnya tidak hanya membutuhkan tenaga teknis pertambangan, namun melibatkan pula berbagai keahlian.
Karena tidak hanya terkait pertambangan dan penggalian, RPJMD harus mewadahi dan mendorong proyeksi kebutuhan tenaga kerja ke depan berdasar kondisi sosial ekonomi, pengembangan kewilayahan, perkembangan teknologi dan trend lokal maupun global.
Menurutnya, perlu percepatan harmonisasi kurikulum pendidikan, baik formal maupun non-formal dengan kebutuhan pasar kerja.
“Untuk mempercepatnya kalau perlu gubernur sendiri yang pegang komando mempertemukan dunia pendidikan dan dunia usaha untuk menyusun langkah konkret bersama, dengan kontribusi yang nyata masing-masing pihak,” lanjutnya.
“Kalau RPJMD mewadahi, maka tentu sumber daya pemerintah provinsi (Pemprov) Kalsel termasuk anggaran dapat didorong untuk mendukung langkah tersebut,” katanya.
Apa yang dikatakan Firman selaras dengan temuan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Di Kutai Kartanegara, misalnya, kabupaten dengan izin tambang terbanyak 625 IUP se-Kaltim bahkan seluruh Indonesia, ironisnya jumlah penduduk miskinnya paling terbanyak dibanding daerah lain di Kaltim.
Riset Jatam menunjukkan 80 persen dari seluruh wilayah tambang di Indonesia berisiko terhadap ketahanan pangan dan berujung pada kemiskinan.
Musababnya, area bekas tambang merusak kondisi lahan, mengontaminasi air, dan kandungan air dalam tanah.
Tambang dianggap merusak potensi lahan untuk bercocok tanam. Nelayan dan petani kehilangan produktivitas hingga 50 persen untuk padi dan 80 persen untuk ikan.
Dari 34 provinsi dengan izin usaha tambang, tiga provinsi dengan konsesi dan luas wilayah terbanyak adalah Sumatera Selatan (Sumsel). Kalsel sendiri masih berada di atas Kaltim.
Aktivis Jatam Kaltim, Pradharma Rupang menepis anggapan bahwa wilayah dengan tambang batu bara yang luas menjadi jaminan kesejahteraan bagi penduduknya.
“Bukan jaminan. Sejahtera dari ekonomi tambang hanyalah mitos,” ujar Rupang kepada bakabar.com.