Fenomena Jual Lahan

Warga HSS Kalsel Ramai-Ramai Jual Lahan, Batu Bara Membawa Sejahtera?

Tergiur cuan emas hitam, warga Kalsel ramai-ramai menjual lahan mereka ke perusahaan batu bara.

Featured-Image
Kendati pertambangan menjadi primadona PDRB, bukan jaminan serapan tenaga kerja di sektor ini lebih banyak ketimbang sektor lainnya. Foto ilustrasi pekerja: AFP via BCC

bakabar.com, BANJARMASIN - Fenomena ramai-ramai jual lahan terjadi di Padang Batung, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS), Kalimantan Selatan. Giuran cuan membuat ratusan warga menjual lahan mereka ke perusahaan batu bara.

Benarkah ekonomi dari sektor batu bara membawa kesejahteraan jangka panjang? Wakil Bupati Hulu Sungai Tengah 2016-2021 sekaligus mantan Direktur Walhi Nasional, Berry Nahdian Furqon menampiknya.

Tingginya harga yang ditawarkan oleh perusahaan, menurut Berry seolah memaksa warga menjual lahan mereka sekalipun lebih produktif jika digunakan untuk bertani atau berladang.

"Ini modus lama, dan ini yang biasanya terjadi. UU dan aturan perizinan pertambangan belum sepenuhnya menghargai hak rakyat dan membangun ekonomi rakyat," ujar Berry dihubungi bakabar.com, Jumat (21/10) sore.

Baca Juga: Menteri ESDM Bicara Tragedi Longsor 171 Satui, Warga: Evaluasi Seluruh IUP!

Baca Juga: Mendadak Kaya, Ratusan Warga HSS Berlomba Jual Lahan ke Perusahaan Batu Bara

Menurut Berry, fenomena di Padang Batung juga menunjukkan bahwa proses perizinan tambang batu bara belum sepenuhnya memenuhi kaidah hak asasi manusia. 

"Kenapa? karena izin sudah terbit namun lahan masih belum dibebaskan, idealnya izin itu kalau sudah lahan dibebaskan atau sudah clear dan clean," jelas inisiator Jaringan Advokasi Tambang atau Jatam Kalsel ini.

Hal lain yang turut dikuatirkan Berry adalah terjadinya gelombang alih profesi oleh warga seiring bergantinya fungsi lahan ke tambang batu bara. 

"Ini bukan pola yang adil dan memberdayakan. Karena begitu sudah dibayar warga kehilangan hak atas lahan. Sementara lahan-lahan tersebut biasanya untuk kebun atau pertanian, maka akan terjadi alih profesi dan kebanyakan uang hasil pembayaran tidak menjadi modal produktif namun cenderung konsumtif," jelas Berry.

Berkaca pengalaman di daerah tetangga, Berry berkata alih fungsi lahan juga berpotensi memunculkan dampak kemiskinan dan konflik antarwarga maupun perusahaan.

Hal itulah yang turut mendasari ketika ia masih aktif menjabat kukuh menolak keberadaan aktivitas pertambangan batu bara di Pegunungan Meratus, HST. 

"Pada akhirnya fenomena 'warga hanya jadi penonton' akan terjadi," jelasnya.

Baca Juga: Ssttt.. Pemprov Restui Meratus HST Dijamah Tambang!

Baca Juga: Pemprov Bantah Restui Meratus HST Ditambang!

Berry sendiri masih sulit menemukan praktik penambangan batu bara yang tak membawa dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

"Memang kalau amdal [analisis dampak lingkungan] bagus dan dijalankan sesuai prosedur, maka dampak lingkungan bisa diminimalisir sampai pada batas tidak menimbulkan bencana, walaupun dalam praktiknya masih sulit ditemukan di Kalsel," jelasnya.

"Terjadi kerusakan pasti, namun jika benar menjalankan kaidah lingkungan maka bisa diminimalisir tentu ini didahului dengan kajian lingkungan dan Amdal yang benar," pungkasnya.

Sebelumnya, ratusan warga Padang Batung berlomba-lomba menjual lahan mereka ke PT AGM. Bermula pada 2017-2018 ketika perusahaan membeli 100 hektare lahan dengan harga Rp40-60 juta per hektare.

Sempat terhenti beberapa tahun, pembelian lahan kembali dilanjutkan pada 2022 ini. Sekarang sudah sekitar 50 hektare lebih lahan warga dibeli dengan kesepakatan mulai dari Rp100-120 juta. Paling tinggi Rp150 juta per hektare.

Jika ditotal PT AGM telah membeli lahan seluas 150 hektare. Lahan yang bakal dibebaskan dari target mereka kini sudah mencapai 70 persen.

Lahan seluas ratusan hektare lebih itu sebelumnya dimiliki 500 orang yang mayoritas di antaranya warga asli setempat.

"Tetapi memang yang paling banyak ada kandungan batu bara berada di sini (Desa Madang)," tutur Kepala Desa Madang, Suriani.

Mewakili masyarakat, Suriani berharap kepada PT AGM supaya tetap mengayomi warganya meskipun lahan mereka sudah dibeli.

"Besar harapan kami agar masyarakat diakomodir jika tambang batu bara di kawasan Desa Madang telah dibuka," tandasnya.

Anomali Kemiskinan

Tambang Batu Bara Ilegal Kalsel
Lokasi tambang ilegal di Kabupaten Tanah Laut yang ditindak Ditreskrimsus Polda Kalsel. Foto-Antara

Tak melulu daerah dengan wilayah batu bara yang luas, tingkat penganggurannya juga rendah. Seperti halnya Tabalong dan Balangan. 

Baca selengkapnya di halaman selanjutnya: 

Sektor batu bara masih menjadi primadona penyumbang produk domestik regional bruto (PDRB) Kalimantan Selatan. Kontribusi pertambangan dan penggalian terhadap PDRB Kalsel dilaporkan mencapai 18,91 persen. Menyusul sektor pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 14,65 persen.

Kendati begitu, nyatanya tingkat serapan tenaga kerja di sektor tambang masih kalah dengan sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Justru sektor pertanian, kehutanan, perikanan dan perkebunanlah yang paling banyak menyerap tenaga kerja.

“Sedang pertambangan dan penggalian sedikit sekali menyerap tenaga kerja Kalsel,” ujar Sekretaris Komisi IV DPRD Kalsel, Firman Yusi, dikutip bakabar.com dari Antara, baru tadi.

Dua kabupaten dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) tertinggi di Kalsel justru berada di dua daerah yang memiliki aktivitas pertambangan dan penggalian aktif. “Yaitu Balangan dan Tabalong,” ujar politikus asal Tabalong ini.

Bahkan, BPS melaporkan tingkat serapan tenaga kerja Balangan menjadi yang terendah dibanding Banjarmasin ataupun Hulu Sungai Tengah daerah yang notabene tak memiliki izin tambang.

Data terakhir, Adaro Indonesia memiliki kapasitas produksi baru bara sebesar 51 juta-52 juta ton per tahun dengan luas wilayah 31.380 hektare mencakup Balangan dan Tabalong.

Luas wilayah konsesi Adaro masih kalah luas dengan Arutmin di Tanah Bumbu. Arutmin memiliki produksi batu bara yang diperkirakan mencapai 26,5 juta ton per tahun dengan luas wilayah pertambangan mencapai 57.107 ha. Kendati begitu, serapan tenaga kerja Tanah Bumbu lebih tinggi ketimbang Balangan.

Kondisi demikian, menurut Firman juga selaras dengan mayoritas pekerja Kalsel yang 44,5 persen hanya berlatar pendidikan tidak tamat dan hanya tamatan SD. Minimnya keterampilan memungkinan perusahaan merekrut pekerja dari daerah lain.

Solusi Firman, RPJMD Kalsel 2021-2026 harus benar-benar konsen untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) melalui sinkronisasi program pendidikan dan ketenagakerjaan.

Sektor pertambangan dan penggalian dalam aktivitasnya tidak hanya membutuhkan tenaga teknis pertambangan, namun melibatkan pula berbagai keahlian.

Karena tidak hanya terkait pertambangan dan penggalian, RPJMD harus mewadahi dan mendorong proyeksi kebutuhan tenaga kerja ke depan berdasar kondisi sosial ekonomi, pengembangan kewilayahan, perkembangan teknologi dan trend lokal maupun global.

Menurutnya, perlu percepatan harmonisasi kurikulum pendidikan, baik formal maupun non-formal dengan kebutuhan pasar kerja.

“Untuk mempercepatnya kalau perlu gubernur sendiri yang pegang komando mempertemukan dunia pendidikan dan dunia usaha untuk menyusun langkah konkret bersama, dengan kontribusi yang nyata masing-masing pihak,” lanjutnya.

“Kalau RPJMD mewadahi, maka tentu sumber daya pemerintah provinsi (Pemprov) Kalsel termasuk anggaran dapat didorong untuk mendukung langkah tersebut,” katanya.

Apa yang dikatakan Firman selaras dengan temuan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Di Kutai Kartanegara, misalnya, kabupaten dengan izin tambang terbanyak 625 IUP se-Kaltim bahkan seluruh Indonesia, ironisnya jumlah penduduk miskinnya paling terbanyak dibanding daerah lain di Kaltim.

Riset Jatam menunjukkan 80 persen dari seluruh wilayah tambang di Indonesia berisiko terhadap ketahanan pangan dan berujung pada kemiskinan.

Musababnya, area bekas tambang merusak kondisi lahan, mengontaminasi air, dan kandungan air dalam tanah.

Tambang dianggap merusak potensi lahan untuk bercocok tanam. Nelayan dan petani kehilangan produktivitas hingga 50 persen untuk padi dan 80 persen untuk ikan.

Dari 34 provinsi dengan izin usaha tambang, tiga provinsi dengan konsesi dan luas wilayah terbanyak adalah Sumatera Selatan (Sumsel). Kalsel sendiri masih berada di atas Kaltim.

Aktivis Jatam Kaltim, Pradharma Rupang menepis anggapan bahwa wilayah dengan tambang batu bara yang luas menjadi jaminan kesejahteraan bagi penduduknya.

“Bukan jaminan. Sejahtera dari ekonomi tambang hanyalah mitos,” ujar Rupang kepada bakabar.com. 

Editor
Komentar
Banner
Banner