bakabar.com, JAKARTA – Tak banyak orang tahu, awal sejarah perfilman Indonesia diawali oleh seorang pahlawan berpangkat mayor bernama Usmar Ismail.
Pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 20 Maret 1921 itu merupakan pelopor tidak hanya perfilman tapi juga teater modern Indonesia. Ia dikenal sebagai bapak perfilman Indonesia yang belum lama ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Jokowi.
Usmar mengawali debut karir di industri perfilman sebagai seorang asisten sutradara atau biasa dikenal astrada. Kala itu film garapan pertama Usmar berjudul “Gadis Desa” (1949).
Film tersebut merupakan hasil kolaborasi Usmar bersama Andjar Asmara untuk rumah produksi film milik Belanda, South Pacific Corporation.
Baca Juga: Siti Manggopoh, Singa Betina dari Minangkabau
Debut itu ia awali setelah keluar dari tahanan atas tuduhan melakukan subversi oleh Belanda saat menjalankan profesi sebagai wartawan di Kantor Berita Antara.
Hingga pada 1946, seorang kolonel bernama Zulkifli Lubis yang ditugaskan membentuk organisasi intelijen oleh Presiden Ir. Soekarno. Dia lantas mendirikan Brani (Badan Rahasia Negara Indonesia).
Brani memiliki salah satu unit bernama Field Preparation (FP). Unit itu difungsikan untuk melaksanakan pengamatan dan mempersiapkan situasi lapangan dengan menggalang dukungan bagi kepentingan Republik di seluruh Indonesia.
Karena ditujukan sebagai penggurung opini publik, Zulkifli lantas merekrut tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang di bidang media, film dan hiburan. Di saat itu Usmar direkrut mejadi bagian dari FP dan diberi pangkat mayor.
Sejak saat itu, Usmar tidak hanya bekerja sebagai sineas, tapi ia juga mengabdi kepada negara dengan menjadi bagian dari tim intelejen Indonesia.
Usmar kemudian mengaet seniman lainnya, seperti Suryo Sumanto dan Suardi Tasrif. Zulkifli memberi mereka berdua masing-masing pangkat kapten.
Selama menjadi bagian dari Brani, Usmar telah membuat sejumlah gebrakan, salah satunya ialah membentuk surat kabar Patriot.
Surat kabar itu dibuat sebagai propaganda pertama Indonesia untuk memperkuat kesatuan negara. Usmar membuat susunan propaganda tersebut berdasarkan ilmu yang ia dapat dari pemerintah Jepang.
Baca Juga: Laksamana Malahayati, Pejuang Perempuan dari Aceh Bernyali Tinggi
Hingga 1950, Usmar terus bekerja sebagai bagian dari unit propaganda Indonesia. Selain surat kabar Patriot, dia pun dipercaya untuk mengelola majalah bulanan Arena dan majalah Tentara.
Setelah perang berakhir, Usmar kembali menggeluti dunia sinema dan membuat beberapa film layar lebar. Film-film tersebut di antaranya, Darah dan Doa, hingga Enam Djam di Djogja, dua film legendaris yang hingga kini masih dipuji para kritikus sebagai karya terbaik Indonesia.