Transisi Energi

Transisi Energi yang Berkeadilan, Bukan Sekedar Turunkan Emisi Karbon

Transisi Energi yang Berkeadilan sangat penting diterapkan dalam upaya menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mencapai target 31,89% yang tertera di ENDC.

Featured-Image
Transisi Energi dengan menggunakan tenaga matahari dan angin yang masuk kategori energi baru terbarukan. Foto: commons.wikimedia.org

bakabar.com, JAKARTA - Transisi Energi yang Berkeadilan (atau Just Energy Transition) sangat penting diterapkan dalam upaya menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) mencapai target 31,89% yang tertera di dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC).

Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL Indonesia Torry Kuswardono menjelaskan, faktanya saat ini, pemahaman dan penerapan prinsip adil dalam proses transisi energi, melenceng dari pemahaman yang seharusnya.

“Transisi energi saat ini adalah salah logika. Sebab transisi energi tetap menggunakan logika pertumbuhan ekonomi yang (tetap) mengandalkan eksploitasi," ungkapnya.

Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL Indonesia Torry Kuswardono mengatakan transisi energi saat ini adalah salah logika. Sebab transisi energi tetap menggunakan logika pertumbuhan ekonomi yang tetap mengandalkan eksploitasi. Foto: POS-KUPANG.COM/Ambuga Lamawuran
Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL Indonesia Torry Kuswardono mengatakan transisi energi saat ini adalah salah logika. Sebab transisi energi tetap menggunakan logika pertumbuhan ekonomi yang tetap mengandalkan eksploitasi. Foto: POS-KUPANG.COM/Ambuga Lamawuran

Menurut Torry, langkah mitigasi krisis iklim dalam transisi energi, prosesnya harus berkeadilan dan menjamin terjadinya integrasi ekosistem, lingkungan dan integritas sosial.

Transisi energi tidak hanya berpatokan pada target penurunan emisi semata, tetapi harus mempertimbangkan siklus menyeluruh dari sektor energi dan dilakukan penilaian untuk melihat kemampuan adaptasi suatu daerah yang mengalami transisi energi dari berbagai faktor, serta bagaimana dampaknya.

Baca Juga: Transisi Energi Terbarukan dan LCT, Kemenlu: Jadi Prioritas Visi ASEAN

“Mitigasi energi yang tidak mempertimbangkan kemampuan adaptasi lingkungan kedepannya akan memunculkan masalah baru, misalnya dengan adanya kebijakan kendaraan listrik, perlu dilakukan asesmen, bagaimana dampak pertambangan nikel bagi masyarakat sekitarnya, jangan sampai ada pihak-pihak yang dirugikan dalam bertransisi dan berujung pada ketidakadilan,“ ungkap Torry.

Oleh sebab itu, ia menegaskan, “Kami menilai transisi energi yang berkeadilan yang didorong pemerintah, masih belum jelas di mana letak keadilannya. Seperti apa prinsip-prinsip keadilan itu diterapkan."

Berkaca pada situasi saat ini, Torry menambahkan, "Prinsip keadilan ini perlu didefinisikan ulang.”

Ahmad Ashov Birry - bakabar.com
Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashov Birry menilai peta jalan pemerintah belum terlihat dengan jelas, baik dalam membangun transisi energi terbarukan ataupun kebijakan tentang kendaraan listrik. Foto: ID COMM

Sepakat dengan Torry, Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia mengatakan bahwa prinsip keadilan adalah hal yang paling fundamental pada transisi energi.

Dalam mendukung transisi energi yang adil dan berkelanjutan, Trend Asia menggaungkan nilai, prinsip, dan langkah strategis dari transisi energi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia yakni; akuntabilitas, transparansi, dan partisipatif.

Baca Juga: Jalan Panjang Transisi Energi, Antara Pembiayaan dan Keekonomian

Berikutnya melakukan penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia.

"Ketiga, keadilan ekologis. Keempat, keadilan rkonomi," ujarnya

Kelima, transformatif, bukan sekedar transisi teknologi tetapi harus mendorong transformasi pembangunan ekonomi secara menyeluruh dari ekonomi ekstraktif dan sentralistik ke ekonomi yang regeneratif dan demokratis.

Selanjutnya, Ashov memaparkan empat langkah strategis yang dapat dilakukan, yakni percepatan pensiun dini PLTU dan pengakhiran pertambangan batu bara, meninggalkan solusi-solusi palsu transisi energi.

Berikutnya, reformasi PLN dan kebijakan energi, dan perancangan dan implementasi transisi energi yang akan memastikan bahwa transisi dijalankan secara berkelanjutan dengan titik tekan perlibatan publik dan proses yang bottom-up.

Baca Juga: Matangkan Skema JETP, PLN Gandeng IEA dalam Akselerasi Transisi Energi

Detailnya, Ashov menjelaskan, Indonesia mempunyai target 23% untuk bauran Energi Terbarukan pada tahun 2025. Namun, hingga saat ini pencapaiannya masih rendah yaitu sekitar 11-12%.

Ini karena masih banyak kebijakan pemerintah yang kontradiktif, yakni masih berpihak pada industri fosil. Masih ada 13,8 Giga Watt PLTU yang dipertahankan pemerintah untuk terus dibangun tanpa tenggat waktu yang pasti untuk penghentian pembangunan PLTU batu bara baru, dan masih banyaknya insentif bagi industri batu bara.

“Aspek penting lainnya adalah bahwa konsep dan kerangka transisi energi yang berkeadilan belum didefinisikan dengan baik oleh pemerintah,” jelasnya. Oleh karena itu, yang dikhawatirkan adalah terjadinya transisi energi tetapi tidak menyasar pada masalah utamanya, bahkan menghasilkan solusi-solusi palsu seperti co-firing batu bara atau gasifikasi batu bara.

Pemanfaatan sumber daya lokal 

Pengamat: seharusnya JETP menjadi karpet merah untuk energi terbarukan, bukan energi fosil
Aksi teatrikal beberapa aktivis di depan Kementerian ESDM untuk mendesak JETP agar sesuai fungsinya. (Foto: dok. Juru Kampanye 350)

Terhadap target energi terbarukan, untuk transisi energi, Tommy Pratama, Direktur Eksekutif Traction Energy Asia berpandangan, angka 23% untuk dicapai di 2025 kurang realistis.

Pasalnya, pemerintah masih bertumpu pada sektor bioenergi yaitu biofuel atau bahan bakar nabati dan biomassa yang digunakan PLTU co-firing dengan batu bara. Padahal biofuel (Bahan Bakar Nabati) dan biomassa justru bisa menghasilkan emisi yang lebih tinggi dari energi fosil jika dilihat dari rantai produksi secara keseluruhan.

Baca Juga: Desakan Transisi Energi Kian Kuat, Perusahaan Migas Wajib Siapkan Ini

“Saat ini kontribusi biofuel pada target ET berkontribusi besar yakni sekitar 11 12%,” tuturnya. Yang dibutuhkan saat ini, kata Tommy, adalah diversifikasi energi rendah karbon untuk dapat dikembangkan di Indonesia, seperti solar panel, tenaga angin, micro hydro, dan arus laut bukan justru mengembangkan energi terbarukan yang emisinya akan lebih tinggi dari bahan bakar fosil.

Tommy menambahkan, bioenergi atau biomassa sifatnya hanya sementara. Karena, misalnya, penggunaan sawit untuk biofuel, itu sempat membebani APBN hingga 2,7 triliun. “Biodiesel saat ini rentan untuk mempertajam kompetisi antara sawit untuk pangan atau energi," jelasnya.

Tommy Pratama, Direktur Eksekutif Traction Energy Asia berpandangan, angka 23% untuk dicapai di 2025 kurang realistis. Pasalnya, pemerintah masih bertumpu pada sektor bioenergi yaitu biofuel atau bahan bakar nabati dan biomassa yang digunakan PLTU co-firing dengan batu bara. Foto: Twitter @TractionEnergy
Tommy Pratama, Direktur Eksekutif Traction Energy Asia berpandangan, angka 23% untuk dicapai di 2025 kurang realistis. Pasalnya, pemerintah masih bertumpu pada sektor bioenergi yaitu biofuel atau bahan bakar nabati dan biomassa yang digunakan PLTU co-firing dengan batu bara. Foto: Twitter @TractionEnergy

Artinya sawit tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan di sektor energi tersebut, sehingga dibutuhkan biodiesel dari generasi kedua atau ketiga, seperti penggunaan minyak jelantah dan bahan baku ganggang di pesisir laut.

Sebagai upaya menemukan solusi untuk transisi energi yang adil, Traction Energy Asia sendiri telah melakukan riset perbandingan dampak lingkungan sosial dan ekonomi dari PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) Jawa 7 untuk pasokan listrik Jawa Bali yang berbahan bakar batu bara dengan PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu) Sidrap 1 di Sulawesi Selatan.

Perbandingan tersebut menghasilkan bahwa polusi pencemaran dari PLTU Jawa 7 berdampak negatif pada para nelayan karena tidak dapat dapat mencari ikan akibat polusi pencemaran air yang cukup tinggi.

Baca Juga: Transisi Energi Terancam Melambat, Celios Desak Lembaga Keuangan Hentikan Pembiayaan PLTU

Sementara itu PLTB Sidrap 1 justru tidak mengeluarkan polusi udara, sehingga masyarakat bisa beraktivitas dengan baik. “Diversifikasi energi rendah karbon yang adaptif dengan konteks lokal inilah yang seharusnya dikembangkan oleh pemerintah dengan mengundang investor asing,” ungkap Tommy.

Diversifikasi energi juga diamini oleh Torry, ”Energi berkeadilan layaknya akses pada pangan perlu adaptif menyesuaikan dengan daya dukung pulau atau lokasi tertentu dalam konteks sumber energi untuk bertransisi.”

Ia menambahkan, untuk keadilan energi, kata kuncinya adalah diversifikasi dan mempertahankan integritas pulau-pulau kecil, tanpa mengorbankan kemampuan adaptasi dari pulau tersebut.

Komitmen Indoensia-UEA Prioritaskan Kerja Sama Pembangunan IKN, Transisi Energi dan Perdagangan
Komitmen Indoensia-UEA Prioritaskan Kerja Sama Pembangunan IKN, Transisi Energi dan Perdagangan

Secara keseluruhan, transisi energi merupakan hal yang tidak bisa dihindari untuk mencapai Net Zero pada 2060. Namun upaya ini harus tetap memperhitungkan dampak-dampak yang akan muncul dari proses transisi tersebut baik dari sisi ekonomi, sosial, dan juga lingkungan, serta paling penting adalah melakukan langkah-langkah mitigasi atas perhitungan risiko tersebut dengan pendekatan pencegahan dan kehati-hatian.

Baca Juga: Wujudkan Transisi Energi, Menteri ESDM Ungkap Tantangan Terbesarnya

Sementara itu, Ashov berharap, transisi energi direncanakan dan dilaksanakan dengan konsultasi dan partisipasi publik yang bermakna. Terlebih dengan terbentuknya sekretariat JETP (Just Energy Transition Partnership) yang harus menjadi jalan bagi tersampaikannya dan terakomodasinya aspirasi publik akan berkeadilan, dalam rencana komprehensif transisi energi.

"Oleh karena itu, transparansi termasuk dalam sisi pendanaan dan rencana investasi JETP menjadi sangat krusial agar kita dapat terhindar dari solusi-solusi palsu dan kerugian besar yang mengikutinya,” pungkas Ashov

Editor
Komentar
Banner
Banner