bakabar.com, JAKARTA – DPR RI melakukan Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat paripurna ke-11 masa persidangan II tahun 2022-2033 pada hari ini, Selasa (6/12)
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul menjelaskan, RKUHP membawa misi dekolonialisasi, demokratisasi, harmonisasi, dan konsolidasi tentang hukum pidana.
“Oleh sebab itu, diperlukan adanya pembaharuan untuk mengakomodasi perkembangan hukum pidana sekaligus penciptaan pembangunan hukum nasional,” jelas Pacul di Gedung DPR, Jakarta, Selasa dilansir bakabar.com Jakarta.
Baca Juga: Pengesahan RKUHP Dianggap Merugikan, Koalisi Masyarakat Sipil Sampaikan 7 Tuntutan
Pacul juga mengatakan, KUHP yang dipakai selama ini merupakan warisan kolonial Belanda. KUHP itu, lanjutnya, telah berperan sebagai sumber pertama hukum pidana di Indonesia selama 76 tahun. Menurutnya, KUHP sudah tak relevan lagi sehingga perlu diubah.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco menyampaikan sebelum dilakukan pengesahan RUU KUHP akan menanyakan kepda setiap fraksi perihal hukum pidana yang dapat disetujui dan tidak disetujui.
Keberadaan pasal ini dalam RKUHP menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat sendiri melainkan berpindah ke negara: polisi, jaksa, dan hakim. Ini menjadikan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri,” ujar rilis Aliansi, Senin (5/12/2022).
Baca Juga: Soal Pasal Karet di RKUHP, Wamenkumham: Sudah Dibedakan antara Penghinaan dan Kritik
Oleh sebab itu, mereka melakukan aksi unjuk rasa dengan menabur bunga di depan Gedung DPR pada Senin (5/12/2022). Merasa aksi mereka tak digubris, Aliansi kembali akan mengadakan unjuk rasa di Gedung DPR pada hari ini, Selasa (6/12) pukul 13.00 WIB.
Aksi-aksi tersebut sebagai bentuk penolakan mereka kepada pengesahan RKUHP. Bahkan mereka menamakan aksi pada hari ini dengan Berkemah di Depan Rumah Wakil Rakyat karena Demokrasi Darurat.
Melihat hal tersebut adanya penolakan dari aliansi masyarakat, Yasonna Laoly menyarankan lebih baik kelompok masyarakat yang belum puas dengan RKUHP menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).