Hot Borneo

Tiga Mantan Bupati Batola Buka Suara Soal Pemindahan Ibu Kota ke Alalak

Diskusi soal wacana pemindahan ibu kota Barito Kuala (Batola) dari Marabahan ke Alalak, ikut membuat tiga mantan bupati andil suara.

Featured-Image
Berbatasan dengan Banjarmasin, Alalak diwacanakan menjadi ibu kota baru Barito Kuala. Foto: Dokumen

Bukan Isu Pertama

Senada dengan Bardiansyah, H Eddy Sukarma yang menjadi bupati di Batola dalam periode 3 November 2002 hingga 3 November 2007, juga menyebut pemindahan ibu kota tak semudah membalik telapak tangan.

"Sebenarnya wacana sejenis sudah pernah dialami Batola. Berangkat dari pengalaman, semua perubahan harus melalui kajian akademis terkait geografi, ekonomi dan sosial politik masyarakat, bukan sekadar pernyataan-pernyataan," tegas Eddy, Minggu (8/1).

"Kalau kemudian kajian akademis menguntungkan masyarakat dan memang diinginkan masyarakat, semuanya dikembalikan lagi kepada masyarakat," imbuhnya.

Pengalaman yang dimaksud Eddy Sukarma adalah wacana pembuatan kabupaten baru Bantam Raya (Berangas Anjir Tamban). Kemudian pembuatan provinsi baru bernama Barito Raya yang melibatkan Batola.

Untuk menyikapi wacana Barito Raya, lantas diundang tokoh-tokoh masyarakat dari semua kecamatan untuk membahasa isu-isu tersebut. Ternyata tidak semua sepakat, karena pertimbangan jarak.

"Akhirnya wacana Bantam Raya maupun Barito Raya terjawab, setelah Jembatan Rumpiang mulai dibangun, serta pemerataan pembangunan utara dan selatan Batola," beber Edy.

Eddy Sukarma yang juga putra H Abdul Aziz (Bupati Batola periode 6 November 1978-5 November 1983 dan 5 November 1983-15 Januari 1987), tak pernah terpikir memindah ibu kota.

"Sebelumnya kami tak terpikir memindah ibu kota Batola, karena membangun infrastruktur jauh lebih baik. Kemudian dari sisi sejarah, Marabahan tak bisa dipisahkan dari pendirian Batola," tegas Eddy.

Pembangunan Jembatan Rumpiang mempermudah akses menuju Marabahan yang sebelumnya hanya dapat dicapai menggunakan feri. Foto: Dokumen
Pembangunan Jembatan Rumpiang mempermudah akses menuju Marabahan yang sebelumnya hanya dapat dicapai menggunakan feri. Foto: Dokumen

Kesepakatan Mayoritas

Pemikiran Bardiansyah Mudjidi dan Eddy Sukarma, diamini Hj Noormiliyani AS. Mantan bupati perempuan pertama di Kalsel ini menegaskan pemindahan ibu kota Batola harus atas kesepakatan mayoritas masyarakat.

"Pemindahan ibu kota tidak bisa diputuskan oleh kehendak sebagian masyarakat, golongan tertentu, komunitas atau bahkan atas nama kepentingan politik," cetus Noormiliyani, Senin (9/1).

"Namun seandainya terjadi juga, tentu harus melewati uji publik dan referendum seluruh masyarakat Batola. Faktanya sejarah Marabahan sebagai ibu kota, tak luput dari nilai kearifan lokal," imbuhnya.

Noormiliyani yang menjabat bupati di Batola dalam periode 4 November 2017 hingga 4 November 2022, pun menekankan arti penting menghargai perjuangan para pejuang dan pemimpin terdahulu.

"Intinya keputusan pemindahan tersebut tidak bisa diambil sepihak hanya lewat DPRD atau demi kepentingan golongan dan politik," pungkas putri mantan gubernur Aberani Sulaiman ini.

Editor
Komentar
Banner
Banner