bakabar.com, MARABAHAN - Perhatian serius ditunjukkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Barito Kuala (Batola) terhadap upaya mencegah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan pernikahan dini di Bumi Selidah.
Salah satunya melalui diskusi dan sosialisasi yang diselenggarakan Komisi Pemberdayaan Perempuan Remaja dan Keluarga, Sabtu (26/8).
Berlangsung di Aula LPTQ Batola, sosialisasi diikuti 30 pemuda pelajar muslim, dan 30 perwakilan organisasi wanita muslim.
"KDRT dan pernikahan dini (sebelum pasangan berusia 19 tahun) memiliki hubungan sebab akibat," papar Hj Siti Sahyati, Ketua Komisi Pemberdayaan Perempuan Remaja dan Keluarga MUI Batola.
"Pasangan yang menikah dini kebanyakan belum siap lahir dan batin untuk berumah tangga. Situasi ini yang kemudian ikut memicu KDRT," imbuhnya.
Muhammad Arsyad dari KUA Kecamatan Alalak menjadi pembicara dengan materi pencegahan pernikahan dini menuju keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah.
Juga dihadirkan psikolog Ningrum Bahalathifah dari Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBP3A) Batola.
Dalam kesempatan itu, Arsyad memaparkan bahwa kesiapan fisik sebelum menikah mendapat perhatian serius dalam perspektif hukum Islam, selain kesiapan ilmu dan materi.
"Namun faktor individu, keluarga dan lingkungan dapat memenuhi keputusan seseorang untuk menikah dini. Makanya dibutuhkan edukasi kepada remaja tentang pernikahan, serta dampak negatif menikah dini," papar Arsyad.
"Ketegasan melaksanakan peraturan perundang-undangan mengenai pernikahan, juga bisa ditempuh untuk menekan angka pernikahan dini," imbuhnya.
Selain berdampak kepada fisik dan psikologis pasangan, pernikahan dini juga menjadi pemicu stunting. Kesimpulan ini didasari hasil studi yang dilakukan Badan Kesehatan Dunia (WHO).
"Remaja masih membutuhkan gizi maksimal hingga 21 tahun. Ketika perempuan berusia 15 atau 16 tahun hamil, akan terjadi perebutan gizi antara tubuh si ibu dengan janin yang dikandung," beber Arsyad.
"Seandainya nutrisi seorang ibu tak mencukupi selama kehamilan, bayi yang dilahirkan berpotensi mengalami Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan berisiko stunting," tegasnya.
Sementara Ningrum Bahalathifah menegaskan bahwa KDRT merupakan tindakan melanggar Hak Azasi Manusia (HAM) dengan mayoritas korban adalah perempuan (istri).
"Sebagian besar disebabkan kelalaian suami/istri melaksanakan tanggung jawab, kurang menghormati, perselingkuhan, tak saling percaya, hingga kekacauan finansial," papar Ningrum.
"Tidak cuma fisik, seksual dan psikologis yang tergolong KDRT. Kekerasan berdimensi ekonomi atau penelantaran rumah tangga juga termasuk KDRT," imbuh Analis Ketahanan Keluarga di DPPKBP3A Batola ini.
Ironisnya dampak KDRT tak hanya berdampak kepada fisik dan psikologi korban. Anak laki-laki yang tumbuh dalam keluarga rawan KDRT, berisiko tiga kali lipat menjadi pelaku kekerasan dimasa depan.
"Sedangkan anak perempuan saksi KDRT akan berkembang menjadi cenderung pasif. Seandainya tak bisa mengatasi pengalaman kekerasan, mereka akan cenderung agresif," tukas Ningrum.
Agar terhindar menjadi korban maupun pelaku KDRT, melaksanakan hak dan kewajiban menurut agama menjadi salah satu solusi.
"Kemudian meningkatkan komunikasi internal, saling menghormati dan menghargai pasangan, mengkomunikasikan semua kebutuhan ekonomi, serta membuat perencanaan bersama," pungkas Ningrum.