bakabar.com, JAKARTA – Ketegangan hubungan terjadi antara China dan Taiwan. Ratusan jet tempur China dilaporkan semakin sering memasuki wilayah udara pertahanan Taiwan.
Mengutip CNN Indonesia, selama dua pekan, China mengirim 129 pesawat tempur ke zona identifikasi pertahanan udara (ADIZ). Jenis pesawat tempur yang melintas adalah 26 jet tempur J-16, 10 jet tempur Su-30, dua pesawat Y-8, dan satu pesawat KJ-500.
Menteri Luar Negeri Taiwan Joseph Wu mengatakan pihaknya siap berperang dengan China. Bahkan, mereka juga meminta bantuan Australia untuk meningkatkan kerja sama keamanan dan intelijen di tengah peningkatan provokasi militer China.
“Jika China memulai perang melawan Taiwan, kami akan melawan hingga akhir. Itu komitmen kami. Saya yakin China akan menyerang Taiwan, saya pikir mereka juga akan menderita,” ujar Wu dalam wawancara dengan ABC.
Menurut Wu, Australia juga sedang gencar menyusun strategi untuk membendung pengaruh China di kawasan. Australia sebelumnya telah menjalin kerja sama AUKUS dengan Amerika Serikat (AS) dan Inggris.
Dengan perjanjian AUKUS, Australia disebut akan membangun kapal selam bertenaga nuklir dengan teknologi dari AS dan Inggris. Perjanjian ini dianggap sebagai cara Australia, Inggris, dan AS bekerja sama melawan pengaruh China.
Sementara, Menteri Pertahanan Taiwan Chiu Kuo-cheng mengatakan China dapat melakukan invasi skala besar pada 2025 mendatang.
Menurut laporan Reuters, Chiu menyebut China sebenarnya sudah memiliki kemampuan untuk menginvasi Taiwan sekarang. Namun, China baru bisa melakukan invasi dengan skala penuh pada 2025.
Di sisi lain, Presiden Taiwan Tsai Ing-Wen mengatakan negaranya tak mencari konfrontasi militer dengan siapa pun, termasuk China. Namun, Tsai bersumpah pihaknya akan melakukan apapun untuk mempertahankan kedaulatan dan kebebasan di Taiwan.
“Taiwan tidak mencari konfrontasi militer,” kata Tsai.
Ia juga memperingatkan dunia bahwa akan ada konsekuensi malapetaka jika Taiwan jatuh kembali ke tangan China.
“Mereka harus ingat bahwa jika Taiwan jatuh, konsekuensinya akan menjadi malapetaka bagi perdamaian kawasan dan sistem demokrasi,” kata Tsai.
Untuk itu, ia masih membuka diri untuk berdialog dengan China asalkan tetap menjunjung kesetaraan dan tanpa syarat politik.
Di sela-sela ketegangan tersebut, Taiwan menerima kedatangan delegasi senator Prancis pada Kamis (7/10). Delegasi itu dipimpin oleh mantan Menteri Pertahanan Prancis Alain Richard.
Kunjungan ini tetap dilakukan meski pada Februari 2021 lalu duta besar China untuk Prancis telah melayangkan surat resmi kepada Richard bahwa kunjungan tersebut melanggar prinsip ‘satu China’ dan memberikan sinyal yang kalah terhadap pro independen di Taiwan.
Kedubes China juga sudah merilis pernyataan yang mewanti-wanti bahwa kunjungan para senator itu akan merusak kepentingan Beijing, relasi kedua negara, dan “citra Prancis.”
Meski begitu, Kementerian Luar Negeri Prancis menegaskan bahwa para senator bebas mengambil keputusan sendiri mengenai rencana lawatan tersebut.
Sementara, China marah setelah Richard menyebut Taiwan sebagai sebuah negara dalam kunjungannya ke Taipei dan bertemu dengan Tsai.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, menilai ucapan Richard merupakan bentuk pelanggaran konsensus universal dalam komunitas internasional, termasuk yang dilakukan Prancis.
Merespons amarah China, Richard mengaku bahwa sebutan bagi Taiwan merupakan sesuatu yang rumit.
“Ini adalah masalah diplomatik yang bagus, tetapi yang mengejutkan bagi saya adalah bahwa nama pulau dan negara ini adalah Taiwan,” kata Richard.