Hot Borneo

Tajir Melintir! Gaji-Tunjangan Bupati Wahid Tak Tersentuh Selama 5 Tahun

apahabar.com, BANJARMASIN – Fakta baru terkuak dalam sidang dakwaan Bupati HSU nonaktif di Pengadilan Tipikor Banjarmasin,…

Featured-Image
Bupati HSU nonaktif Abdul Wahid menghadiri sidang perdana di Pengadilan Tipikor Banjarmasin. Foto-apahabar/Muhammad Syahbani

bakabar.com, BANJARMASIN – Fakta baru terkuak dalam sidang dakwaan Bupati HSU nonaktif di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Senin (11/4) kemarin.

Bupati HSU dua periode itu tak pernah menyentuh gaji dan tunjangan selama lima tahun.

Duitnya mengendap di dua rekening bank berbeda.

Rinciannya BRI Rp253 juta dan Bank Kalsel Rp205 juta.

“Sejak 2016-2021 terdakwa tidak pernah menggunakan,” ucap Jaksa Penuntut Umum KPK, Senin kemarin.

KPK telah membekukan dua rekening tersebut per tanggal 20 November 2021 seiring terseretnya Wahid dalam kasus mega korupsi.

Fakta tersebut semakin menguatkan dugaan lembaga antirasuah itu bahwa Wahid telah menikmati hasil korupsi.

“Padahal sesuai laporan LHKPN terdakwa tak memiliki sumber pendapatan sah selain gaji dan tunjangan,” kata Jaksa KPK.

img

Bupati HSU nonaktif Abdul Wahid menghadiri sidang perdana di Pengadilan Tipikor Banjarmasin. Foto-apahabar/Muhammad Syahbani

Sebelumnya, duit hasil dari dugaan korupsi Abdul Wahid tak sedikit.

Dari hasil penelusuran KPK, totalnya mencapai Rp31 miliar lebih.

Duit itu diduga hasil korupsi yang dilakukan Wahid sejak 2015 – 2021.

Bersumber dari fee kontraktor dan penunjukan ASN.

Hal ini diungkap Jaksa Penuntut Umum KPK pada sidang perdana Abdul Wahid di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Senin (11/4).

Bupati HSU dua periode tersebut hadir di persidangan.

Mengenakan kemeja sasirangan kuning, Wahid duduk di kursi pesakitan.

Wahid didampingi tim penasehat hukum dari Kantor Lubis Nasution and Partner Jakarta berjumlah tujuh orang.

Dalam persidangan, Jaksa Penuntut KPK yang diketuai Titto Zaelani mendakwa Wahid telah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang (TPPU).

Wahid didakwa dengan pasal berlapis.

Pasal 12 huruf a UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP atau Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Kedua, Pasal 12B UU Tipikor Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Ketiga, Pasal 3 UU TPPU Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP atau Pasal 4 UU TPPU Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

img

Selain pasal tindak pidana korupsi, Bupati Kabupaten HSU nonaktif ini juga didakwa dengan pasal TTPU. Foto-Muhammad Syahbani

Dalam sidang yang diketuai Majelis Hakim, Yusriansyah, Jaksa Penuntut KPK membeberkan Wahid telah menerima uang dari sejumlah pejabat di Dinas PUPRP HSU.

Rinciannya dari Kabid Sumber Daya Air sekaligus Plt Kadis PUPRP sebesar Rp2,8 miliar lebih yang diterima sejak 2017 – 2021.

Kabid Bina Marga Agus Susiawanto senilai Rp8 miliar lebih sejak 2015 – 2018.

Kasi Jembatan Marwoto Rp18 miliar lebih sejak 2019-2021.

Kabid Cipta Karya Abraham Radi Rp1,7 miliar lebih sejak 2019-2021.

Wahid juga didakwa telah menerima suap untuk penunjukkan jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) di HSU sebesar Rp510 juta.

Di antaranya Rp500 juta dari Maliki untuk jabatan Plt Kadis PUPRP dan Rp10 juta untuk jabatan istri Maliki sebagai Kasi Hubungan Industrial Dinas DPMPTSP Naker.

Dari penelusuran KPK, Wahid memiliki uang yang tersimpan di Bank BRI Kanca Amuntai senilai Rp500 juta.

Eks ketua Golkar itu telah membelanjakan uang dugaan hasil korupsi berupa tanah, bangunan dan kendaraan bermotor senilai Rp10 miliar.

KPK menduga harta kekayaan Wahid diperoleh dari hasil korupsi.

Sebab ia tak pernah melaporkan ke KPK melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN).

Usai pembacaan dakwaan, Ketua Majelis Hakim, Yusriansyah memberikan kesempatan kepada Wahid untuk menyampaikan pembelaan.

Namun setelah berdiskusi dengan tim penasehat hukumnya, tawaran itu tidak diambil oleh Wahid.

Selanjutnya sidang dijadwalkan dilaksanakan kembali pada Senin (18/4) pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi dari Jaksa Penuntut KPK.

Pasca-persidangan, Jaksa Penuntut KPK, Fahmi Ari Yoga mengatakan bahwa pihaknya telah menyampaikan dakwaan secara keseluruhan.

Di mana dalam dakwaan tersebut semua telah dirincikan.

Dari uang dugaan suap fee proyek di Dinas PUPRP, termasuk aset-aset yang diduga diperoleh Wahid dari hasil duit haram tersebut dengan total Rp31 miliar lebih.

“Hasil penelusuran rata-rata tanah masih di sekitaran HSU. Itu aset terdakwa. Termasuk pembangunan klinik Barata. Sebuah komplek yang dibanguan sudah Rp3,5 miliar lebih,” ujar Fahmi.

Menyinggung soal perkara ini, pihaknya berkeyakinan bahwa Wahid merupakan otak di balik mega korupsi yang terjadi di HSU.

KPK juga telah menyiapkan saksi-saksi sebanyak 99 orang.

“Kalau sesuai Berita Acara Pemeriksaan (BAP) keseluruhan saksi ada 99 orang. Untuk pekan depan rencananya kami hadirkan empat dulu,” bebernya.

Adapun Penasihat Hukum Wahid, Fadli Nasution mengatakan sudah mempersiapkan diri untuk menjalani persidangan.

Termasuk pembelaan yang akan disampaikan di persidangan.

Disinggung soal adanya tuduhan Wahid sebagai otak dari mega korupsi seperti yang terungkap di sidang Terdakwa Maliki, Fadli menanggapi santai.

Secara normatif ia membantah tuduhan yang ditujukan kepada kliennya itu.

Sebab menurutnya, kasus korupsi itu terjadi di Dinas PUPRP yang dipimpin Maliki selaku Plt Kadis.

Sehingga menurut Fadli, Wahid tak terlibat dalam kasus ini.

“Sudah banyak saksi dan klien kami juga sudah diperiksa sebagai saksi. Proyek-proyek itu semua ada di bidang PUPRP. Tidak ada kewenangan bupati dalam proyek itu,” pungkasnya.



Komentar
Banner
Banner