bakabar.com, JAKARTA – Desa Bojong Koneng, Sentul, Jawa Barat, merupakan salah satu daerah yang memiliki banyak limbah agrikultur. Limbah ini berasal dari kegiatan penduduk setempat yang mayoritas adalah petani.
Limbah agrikultur biasanya diolah menjadi pupuk, atau langsung dibakar jika sudah terlalu menumpuk. Padahal, ini berpotensi memiliki nilai jual tinggi bila dimanfaatkan menjadi media tanam.
Atas dasar inilah, Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia (UI) menggagas mikoponik. Ini merupakan teknologi pembudidayaan jamur dengan memanfaatkan limbah agrikultur sebagai media tanam.
Raup Omzet Puluhan Juta per Bulan
Salah satu budidaya jamur mikoponik dikembangkan di Bumi Kepanduan Sentul. Yenie, pengelola budidaya di kawasan tersebut, mengaku bahwa dirinya bisa meraup omzet hingga puluhan juta per bulan.
“Satu baglog menghasilkan hampir satu kilogram jamur, dijual seharga Rp15.000. Modalnya hanya Rp4.500,” kata dia kepada bakabar.com, Sabtu (10/9/2022).
Yenie memasarkan hasil jamurnya ke penjual-penjual di Pasar Babakan Madang. Hingga kini, dia setidaknya telah memiliki 20 orang pelanggan tetap.
Namun, Yenie tak menampik bahwa ada kalanya dia mesti menomboki sejumlah uang yang tak kunjung dibayar pelanggannya. Mengingat, pembayaran dari penjualan itu memakai sistem cash alias dibayar langsung, namun ada pula yang ‘keluar masuk.’
“Misalnya, hari ini kirim (jamur), besoknya pas kirim lagi baru dibayar yang kemarin. Tapi, ada juga yang sampai sekarang masih belum bayar,” ungkapnya.
Serangkaian Kegiatan di Rumah Jamur
Yenie mengatakan proses pembudidayaan jamur mikoponik tidaklah sulit. Budidaya dilakukan di rumah jamur, yaitu sebuah kumbung yang di dalamnya terdapat rak-rak tempat jamur, serta ruangan pembuatan baglog, sterilisasi, pendingin, inokulasi, dan inkubasi.
Jamur mikoponik bakal dierami terlebih dahulu. Pengeraman dilakukan dengan mencampur limbah agrikultur dan bahan-bahan tertentu, lalu didiamkan selama 24 jam dalam suhu ruangan.
Bagalog mesti disemprot setiap tiga hari sekali, lebih tepatnya pada waktu pagi dan sore hari. Penyemprotan yang dimaksud menggunakan sistem berkabut.
“Murni air biasa, tanpa campuran apa-apa. Air yang disemprotkan itu juga enggak banyak,” papar Yenie.
Baglog yang sudah berwarna putih, kemudian dibuka karet pengikatnya dengan cara digunting. Jamur yang bertekstur kokoh dan lentur, berwarna belum pudar, serta tudungnya belum keriting sudah siap untuk dipanen.
Panen dilakukan dengan mencabut atau menggunting jamur. Pastikan tak ada sisa jamur yang tertinggal di baglog, supaya tidak mengundang hama dan penyakit bagi jamur berikutnya.
Tak Mesti di Dataran Tinggi
Tim Pengabdian Masyarakat FMIPA UI membeberkan alasan lain Desa Bojong Koneng dipilih karena lokasinya berada di dataran tinggi. Sehingga, memiliki kelembapan tinggi dan suhu rendah.
Kendati begitu, Yenie menegaskan budidaya jamur mikoponik tak mesti dikembangkan di daerah dataran tinggi. Malahan, kawasan dataran rendah lebih bagus lantaran suhunya lebih panas.
Tertarik mengembangkan budidaya jamur mikoponik di daerah sekitar pemukiman Anda? (Nurisma)