bakabar.com, Banjarmasin- Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (Gembuk) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan kembali mempertanyakan komitmen daerah atas ancaman kerusakan di pegunungan Meratus, seiring penyematan predikat Geopark Nasional di sana.
Komite Nasional Geopark Indonesia sebelumnya resmi menyerahkan 8 sertifikat pengakuan status Geopark Nasional,salah satunya kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalsel yang mengusulkan kawasan Pegunungan Meratus sebagai kawasan Geopark Nasional.
Ketua Gerakan Penyelamat Bumi Murakata (Gembuk) Rumli menilai, pengusulan predikat tersebut dilakukan sepihak oleh pemerintah daerah. Pemprov disebut tidak melibatkan masyarakat setempat dalam proses pengusulan.
“Harusnya berikan pemahaman terlebih dahulu kepada masyarakat,” ujarnya kepada bakabar.com, hari ini.
Rumli meminta Pemprov segera menyelesaikan masalah terbitnya izin operasi produksi di pegunungan Meratus oleh penambangan PT. Mantimin Coal Mining (MCM). Pegunungan Meratus sebagai taman nasional bukanlah solusi, melainkan alternatif semu untuk menyelamatkannya dari kerusakan lingkungan hidup.
“Harus selesaikan dulu ya satu. Kalau begini, apa maksudnya? Apakah hanya untuk pengalihan isu,” ujarnya.
Baca Juga :Gubernur: Pengusaha Perbaiki Jalan Dan Rumah Longsor Di Sanga - Sanga
Ia menegaskan bahwa jangan sampai pasca dijadikannya pegunungan Meratus sebagai Taman Nasional, justru mengesampingkan hak-hak masyarakat adat di sana.
“Sebenarnya tujuannya baik, akan tetapi jangan sampai mengesampingkan hak masyarakat adat,” katanya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalsel Kisworo Dwi Cahyo berujar, dengan konsep Taman Nasional seperti sekarang, maka tak akan menjawab persoalan Pegunungan Meratus. Konsep tersebut justru dianggap berpotensi menggusur hak rakyat masyarakat adat.
“Apa lagi kalau konsep yang ada nantinya akan menggusur hak rakyat masyarakat adat Dayak Meratus,” ucapnya,
Alasan jika hanya Kalsel yang tak memiliki taman nasional di pulau Kalimantan, dirasa Walhi kurang mengena. Walhi, kata dia, sejak dulu menolak konsep Taman Nasional ini. Masyarakat Adat Dayak Meratus sudah memiliki kearifan lokal yang bergantung hidup dari alam.
“Ya, sudah terbukti dan teruji sampai sekarang. Buktinya Masyarakat Adat Dayak Meratus sampai saat ini masih hidup dan berkehidupan. Akan tetapi, Meratus masih lestari,” tegas Kis.
Ia mengungkapkan bahwa kondisi Meratus saat ini sangat berbeda dengan wilayah-wilayah yang sudah dikuasai negara.
Rata-rata wilayah yang sudah dikuasai negara telah hancur. Masyarakat banyak yang tergusur dari ruang hidupnya, begitu kata Kis.
Baca Juga :Dewan Soroti Pembebasan Bangunan Bantaran Sungai Di Banjarmasin
Gerakan SaveMeratus yang saat ini pihaknya gaungkan bukan hanya sekedar penyelamatan Pegunungan Meratus. Akan tetapi, hal yang lebih besar dan luas lagi, yaitu keberadaan suku Dayak Meratus yang sudah hidup dari zaman bahari, bahkan sebelum NKRI merdeka.
Di luar predikat Geopark, Walhi menyarankan agar negara segera mengakui Wilayah Kelola Rakyat atau Adat, berikut dengan ritual adat dan kepercayaannya di dalammya. Masyarakat adat di sana dinilai masih kurang diakui keberadaannya.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan Hanif sebelumnya mengatakan, ada 36 geosite dari 10 kabupaten/kota di Kalsel yang akan menjadi bagian dari geopark Pegunungan Meratus, di antara geosite itu adalah Tahura Sultan Adam, Goa Batu Hapu, Bukit Kayangan, dan Air Panas Batu Mandi dengan total luasan Geopark Pegunungan Meratus 328,034 meter kali 9,691,948 meter.
"Nanti akan dibuat badan pengelola atau apapun namanya yang akan mengelola Geopark Meratus dan harus bekerja keras sehingga pada 3 tahun ke depan ketika dilakukan evaluasi penilaian bisa mempertahankan predikat tersebut sehingga bisa meningkat menjadi Geopark Internasional yang di tetapkan oleh UNESCO," pungkas Hanif.
Baca Juga :Kasus Korupsi Ulin Raya: Tiga Saksi Berhalangan Hadir
Reporter : M.Robby
Editor : Fariz