bakabar.com, MAGELANG - Stasiun Magelang Kota jadi tempat perdagangan, sekaligus cikal bakal berdirinya Pasar Rejowinangun yang kini jadi Pasar Induk Kota Magelang.
Kereta adalah transportasi yang banyak diminati masyarakat karena dinilai praktis dan murah. Moda transportasi tersebut juga memiliki banyak jalur yang melintasi berbagai kota sejak jaman kolonial.
Namun, ada beberapa kota yang akhirnya terpaksa menutup akses moda transportasi kereta lantaran jalurnya rusak dan tak ada dana untuk kembali membangunnya.
Salah satunya adalah jalur kereta yang menyisakan bangunan tua Stasiun Magelang Kota.
"Magelang pernah dibangun dan dilewati jalur lintas kereta api pada 1898," kata pegiat Komunitas Kota Toewa Magelang, Bagus Priyatna, Rabu (8/11/).
Jalur kereta api tersebut pertama kali didirikan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) pada 1 Juni 1898.
Sebagai informasi, NISM adalah perusahaan Kereta Api (KA) swasta Belanda yang tergabung dalam Veerenigde Spoorwegbedrigs (VS).
Meski kontur wilayah Magelang berkelok dan berbukit, pemerintah kala itu berhasil membuat jalur yang menghubungkan wilayah Jogja hingga Magelang.
"Kawasan lintasannya Jogja-Sleman-Tempel-Muntilan-Blabak dan Magelang Kota," tutur Bagus.
Stasiun Magelang Kota dan Eksistensinya
NISM membangun jalur kereta jalur Magelang Kota berdampingan dengan Grooteweg Noord (sekarang dikenal dengan kawasan Poncol atau Jalan A Yani) hingga Grooteweg Zuid atau Chinnese Kamperment Straat (saat ini dikenal dengan kawasan pecinan atau Jalan Pemuda.
Penumpang kereta api dari hari ke hari semakin bertambah, maka NISM mulai membangun stopplaats.
Stopplaats adalah halte tempat menaik turunkan penumpang, serupa dengan stasiun.
Meski terlihat mirip dengan stasiun, stopplaats memiliki perbedaan karena bisa mengangkut kiriman paket atau surat dari kantor pos Magelang.
Tak hanya menorehkan sejarah perkeretaapian, Stasiun Magelang Kota juga turut andil menghidupkan perdagangan.
Sebabm, Stasiun Magelang Kota menjadi tempat bertransaksi para penumpang sekaligus cikal bakal berdirinya Rejowinangun yang kini menjadi Pasar Induk Kota Magelang.
Para penumpang di Stasiun Magelang Kota melakukan transaksi pertanian dan perkebunan seperti padi, ketela, sayuran, tembakau, kopi serta rempah-rempah.
"Transaksi jual beli segera dilakukan penumpang di stasiun supaya hasil bumi yang dibawa tersebut tidak busuk dan uangnya bisa segera digunakan," jelasnya.
Kereta yang mengangkut para penumpang adalah jenis C24 buatan Werkspoor dengan bahan bakar kayu jati.
Kayu jati pada lokomotif C24 berfungsi untuk untuk mendidihkan air yang ada di ketel uapnya sebagai sumber tenaga.
Setiap kali kereta berjalan, loko C24 mengeluarkan asap mengepul dengan warna hitam peka.
"Masyarakat menyebutnya 'sepur kluthuk' atau 'sepur trutug' karena tua dan bunyinya kencang serta asapnya mengepul," imbuh Bagus.
Namun sayangnya, eksistensi kereta mulai surut ketika moda transportasi lain masuk ke Magelang.
Moda transportasi yang menggeser eksistensi kereta adalah oto bus dan kendaraan pribadi (mobil) di era 1970 an.
"Penumpangnya mulai beralih karena harga bus kala itu lebih murah dan jalur kereta di perbatasan Jogja-Magelang terputus akibat banjir lahar dingin Gunung Merapi," ujarnya.
Kondisi tersebut dibarengi tumbuhnya terminal di lokasi yang berdekatan dengan Stasiun Magelang Kota.
Akibatnya, Stasiun Magelang Pasar lambat laun tumbuh berkembang menjadi terminal.
Sejak kereta api mulai tak beroprasi di Magelang pada 1976 an, terminal di sampingnya justru memulai masa kejayaan.
Terminal yang menjadi pemberhentian puluhan otobus di era revormasi di beri nama terminal Ampera.
Terminal Ampera diketahui beroprasi hingga 1977 sebelum pindah ke Terminal Tidar.