bakabar.com, JAKARTA - Sebut saja namanya Livi. Dia perempuan keturunan Tionghoa yang selalu riang. Dia seorang penganut Katolik yang taat. Di akhir pekan, dia selalu terlihat di Taman Surapati, Jakarta. Di situ, dia bergabung dengan rekan-rekannya yang kerap bermain biola.
Sepekan sebelum natal, dia terlihat lebih gembira. Saat semua rekan-rekannya membuat rencana hendak liburan ke luar negeri, dia justru punya rencana lain. “Saya ingin berkunjung ke Gua Maria di Rangkasbitung, Lebak. Saya ingin mengikuti jalan salib,” katanya.
Spiritualitas memang serupa energi yang menggerakkan tubuh seseorang. Ada saat di mana manusia merasa jenuh dan bosan. Ibarat mesin, ada saat manusia merasakan aus dan kehilangan energi.
Melalui jalan spiritual, seseorang bisa me-recharge energinya lalu kembali menjadi individu baru yang jauh lebih bertenaga. Namun, tak semua orang punya waktu untuk mengunjungi tempat-tempat jauh demi mengisi baterai kehidupannya.
Saya penasaran dengan cerita Livi tentang Gua Maria. Saya pikir gua serupa hanya ada di Jawa Tengah. Saya pikir Banten hanyalah rumah berteduh bagi para penganut Islam. Jika ada Gua Maria, maka akan posisinya serupa titik di tengah ritus ziarah agama Islam. Itu membuatnya unik.
Tanpa sepengetahuan Livi, saya juga menyusun jadwal perjalanan. Dari Bogor, saya bergerak menempuh jalur Dramaga ke Leuliang, Cinangneng, Jasinga, hingga Rangkasbitung. Setelah meninggalkan Jasinga, perjalanan lebih banyak melintasi hutan. Setelah tiga jam, akhirnya tiba di Rangkasbitung.
Kompleks ini dinamakan Gua Maria Bukit Kanada, Rangkasbitung. Saya pikir, tempat ini ada kaitan dengan satu lokasi di Kanada. Ternyata Kanada adalah singkatan dari Kampung Narimbang Dalam, yang merupakan lokasi gua ini.
Baca Juga: Dulu Gereja Maradona, Kini Gereja Messi di Argentina
Saya melihat sekeliling. Kompleks gua ini dipenuhi pohon-pohon rimbun. Lokasinya agak jauh dari pemukiman sehingga menjadi tempat ibadah yang tenang dan sejuk. Di lapangan parkir yang luas, saya melihat banyak mobil berpelat Jakarta.
Setelah memarkir kendaraan, saya tidak langsung ke Gua Maria. Saya singgah dulu ke kantin di lokasi parkiran. Tiga jam perjalanan membuat saya cukup lelah dan lapar. Saya sejenak mencoba mie ayam serta ngopi di kantin kecil di situ.
Saya bertemu Hans, seorang sekuriti yang lama bekerja di situ. Dia bercerita, selain Gua Maria, di situ ada kapel kecil untuk pelayanan Perayaan Ekaristi, serta area jalan salib dengan 14 perhentian. Rutenya melewati hutan kecil serta kebun-kebun yang bernuansa alami.
Sebanyak 14 perhentian itu akan mengingatkan pada peristiwa yang dialami oleh Yesus saat dijatuhi hukuman mati, memikul salib, hingga mati dan dikubur. Di perhentian-perhentian tersebut umat bisa melakukan devosi atau berdoa.
Hans bergabung di organisasi bernama Mudika, yang merupakan singkatan dari Muda-Mudi Katolik. Kini, berganti nama jadi Orang Muda Katolik (OMK). Sebelum dan ketika Gua Maria dibangun, Mudika St. Yoseph (nama Mudika waktu itu) terlibat aktif dalam pengumpulan dana untuk pembangunan Gua Maria dengan antara lain dengan berjualan makanan.
Sejak peletakan batu pertama, Mudika pun terlibat aktif dalam pembangunan Gua Maria. Bukan hanya itu saja, setelah Gua Maria selesai dibangun, Mudika juga juga melakukan pendekatan dengan masyarakat sekitar, antara lain dengan melakukan pertandingan voli di lapangan yang saat ini menjadi lapangan parkir Gua Maria.
Ketika situasi keamaan saat itu kurang kondusif, Mudika secara bergilir berjaga, melakukan ronda di Gua Maria. Untuk menjaga agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, ketika bulan peziarahan berlangsung (Mei dan Oktober), Mudika melakukan pencatatan tentang jumlah para peziarah, mencatat nomor kendaran serta melaporkan kepada aparat terkait.
Kedekatan dengan warga pun terbangun. Tanggal 18 Agustus 2013, Kepala Desa Jatimulya, Bapak Rusyanto mengkui keberadaan Gua Maria Rangkasbitung, serta mengungkapkan pengakuan dan penghargaannya tentang keberadaan Gua Maria Kanada. Gua Maria Rangkasbitung merupakan aset Desa Jatimulya.
Pada 31 Oktober 2013 Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lebak dan Ketua FKUB Kabupaten Lebak juga mengakui kehadiran sebagai tempat ziarah bagi umat katolik Rangkasbitung.
Pihak pengelola membangun tempat berjualan yang layak bagi warga masyarakat di sekitar Gua Maria. Mereka juga melakukan bakti sosial berupa pengobatan gratis dan pembagian sembako bagi warga yang tidak mampu.
“Kami tak akan berhenti. Sekali pun hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan,” kata Hans. Dia dan rekannya tetap berpegang pada perkataan Rasul Paulus kepada umat di Korintus “Aku menanam, Apolos menyiram, tetapi Allah yang memberi pertumbuhan.”
Mengapa orang Katolik membangun Gua Maria? Hans tak segera menjawab pertanyaan ini. Tugasnya hanya mengantar tamu-tamu yang datang berkunjung. Mungkin dia berhati-hati saat menerima pertanyaan mengenai spiritualitas.
Kepada Hans, saya kutipkan kalimat “Que soy era Immaculado Councepciou!” Dalam bahasa Occitan, yang digunakan di selatan Perancis bermakna: “Aku adalah Yang Dikandung Tanpa Dosa.” Ini adalah kalimat dari yang diucapkan Bunda Maria kepada Bernadette Soubirous di Gua Massabielle (batu besar), di tepi Sungai Gave, dekat kota Lourdes di Perancis, pada tahun 1858.
Konon, Benadette Soubirous bertemu penampakan Bunda Maria. Dia melihat Bunda Maria mengenakan gaun putih indah dengan ikat pinggang yang terang. Di atas kakinya ada bunga mawar berwarna kuning pucat. Dia menatap ke langit dan mengatupkan tangannya ke dada.
Dalam sejarah, Bunda Maria beberapa kali dilaporkan menampakkan diri pada orang terpilih. Penampakan di Lourdes menginspirasi umat Katolik untuk membangun gua yang kemudian menjadi tempat ziarah paling populer di dunia.
Tempat ziarah ini pulalah yang kemudian menjadi inspirasi untuk membuat tempat ziarah serupa pada komunitas Katolik, termasuk di Indonesia yang salah satunya adalah Gua Maria Bukit Kanada Rangkasbitung.
Mendengar saya bercerita, Hans memperlihatkan beberapa rosario. “Siapa tahu kamu membutuhkan ini untuk berdoa,” katanya. “Maaf, saya seorang Muslim,” kataku.
Sejenak dia terdiam, kemudian kembali tersenyum. “Tak apa. Jalan spiritual memang universal. Siapa tahu ada pesan dan hikmah yang kamu temukan di sini,” katanya. Saya pun tersenyum dan menjabat tangannya.
Dia menawarkan untuk mengantarkan saya ke Gua Maria. Tapi saya memilih sendirian. Saya menikmati saat-saat berkunjung, melihat dari tepian, sembari memotret.
Saya memulai perjalanan di kompleks itu. Mulanya saya bertemu gerbang, serta lukisan tembok mengenai kelahiran Yesus Kristus. Di ujung jalan kecil, saya melihat ada patung Yesus tengah duduk dan berdoa.
Selanjutnya, saya melihat gerbang kecil bertuliskan “Salve Regina.” Di kiri kanan, terdapat patung kecil putih yang sepertinya adalah para sahabat Yesus. Jumlahnya 11. Di antaraya ada patung St Yohanes dan St Filipus.
Setelah mendaki dan melalui semua patung kecil itu, saya melihat Gua Maria. Di tengah gua, ada patung Bunda Maria, yang mengingatkan saya pada patung Maria di Lourdes. Di depannya ada altar yang berisikan puluhan lilin. Depan patung Bunda Maria, ada patung dua lelaki bersayap yang sedang menyembah. Di dekat altar itu, orang-orang menggantung kalung dengan liontin salib.
Baca Juga: Momen Haru Hajime Moriyasu, Samurai di Abad-21
Setelah mengambil gambar, saya lalu menelusuri jalan salib. Di situ, ada rute pendek, serta rute panjang. Jika melalui rute panjang, maka kita harus mengitari bukit yang cukup terjal. Saya merasa cukup lelah saat mendaki bukit menuju Gua Maria ini. Saya pun memilih rute pendek.
Bangunan pertama yang saya lihat serupa bangunan di zaman Romawi kuno yang bertuliskan “Grotto Kebangkitan.” Sayang, pintu menuju ke dalam bangunan tertutup. Saya ingat kata Hans di pintu masuk kalau di situ terdapat patung Yesus yang tengah berbaring.
Saya melanjutkan perjalanan dan melihat 14 titik penghentian. Di depan semua penghentian, ada altar yang dipenuhi lilin. Di ujung rute pendek, saya melihat patung Yesus yang sedang menengadah. Ada juga sumur untuk mengambil air suci.
Saat sedang memotret, punggung saya ditepuk seseorang. Saat menoleh, saya melihat wajah Livi yang nampak marah. Pipinya bersemu kemerahan. “Kok gak bilang kalau mau ke sini? Kan kita bisa barengan,” katanya sembari cemberut.
Hmm. Dia semakin manis.