Opini

Momen Haru Hajime Moriyasu, Samurai di Abad-21

Di tengah sorak-sorai dan pekik kemenangan di angkasa, lelaki Jepang itu bergerak menuju tepi lapangan. Dia memandang ke arah sebagian penonton yang tertunduk.

Featured-Image
Pelatih Jepang Hajime Moriyasu menunduk seusai kalah

DI TENGAH sorak-sorai dan pekik kemenangan membahana di angkasa, lelaki Jepang itu bergerak menuju tepi lapangan. Dia memandang ke arah sebagian penonton yang tertunduk pilu. Pria itu, Hajime Moriyasu, langsung membungkuk. Dia melakukan ojigi, sebagai tanda permintaan maaf.

Semua penonton di stadion maupun di jagad maya terkesima. Di abad 21, pria itu serupa samurai yang baru saja menyelesaikan pertempuran. Tim samurai biru yang dipimpinnya telah bertarung tak kenal lelah. Mereka kalah terhormat setelah seluruh jiwa raga dan tulang dibanting dalam pertempuran.

Bermain di Al Janoub Stadium, Senin (5/12) malam, timnas Jepang unggul 1-0 di babak pertama berkat gol Daizen Maeda pada menit ke-43. Sayang, keunggulan tersebut langsung dibalas Kroasia di awal babak kedua lewat gol Ivan Perisic pada menit ke-55, skor menjadi 1-1.

Di babak adu penalti, kiper Kroasia, Dominik Livakovic tampil luar biasa dengan menghalau tiga penendang penalti dari para pemain Jepang.

Baca Juga: Teater Perang dan Kebangkitan Asia

Hajime Moriyasu membungkuk, lalu memberi penghormatan. Ia juga meminta maaf karena gagal membawa Jepang lolos ke 8 besar atau perempat final. Dia menunjukkan sikap ksatria dan jiwa besar, serupa oase di tengah warga dunia yang kian pongah dan tak mau mengakui kekalahan.

Tim yang diasuhnya telah menorehkan sejarah baru di kanvas sepakbola dunia. Timnya mengalahkan dua mantan juara dunia yakni Spanyol dan Jerman. Timnya juga bermain imbang melawan Kroasia yang tampil fantastis di Piala Dunia edisi sebelumnya.

Setelah melakukan aksi membungkuk itu, dia pun membuat pernyataan saat konferensi pers. “Ini adalah era baru. Mereka menunjukkan pada kami era baru masa depan sepakbola Jepang,” katanya.

“Para pemain bisa berpikir untuk bersaing melawan seluruh dunia dari level yang sama," katanya sebagaimana dikutip BolaStylo dari Goal International.

"Kami mengalahkan Jerman, kami mengalahkan Spanyol, kami mengalahkan dua mantan juara dunia. Jika kami berpikir untuk maju daripada stagnan, masa depan pasti akan berubah.”

Dia melanjutkan, "Jika sepakbola Jepang terus ingin berada di panggung terbaik, saya yakin itu kami akan mampu mengatasi penghalang ini.”

Bola memang serupa bandul takdir yang mengayun dan menunjukkan banyak sisi kehidupan manusia. Di Qatar, bola telah menyingkap satu kekuatan karakter dari bangsa Jepang yang pantang menyerah dan selalu menyerap energi terbaik dari setiap peristiwa dan pengalaman.

Semalam, timnas Jepang kalah dalam pertandingan bola. Namun mereka menang dalam menunjukkan kekuatan hati untuk menyerap semua hikmah dan pengalaman lalu mengubahnya menjadi kekuatan.

Dalam buku Upheaval: Turning Points for Nations in Crisis, Jared Diamond menjelaskan bagaimana Jepang di era Meiji bisa bangkit dari krisis dan menjadi bangsa pemenang. Bahkan saat luluh lantak di era Perang Dunia ke-2, Jepang bisa tetap tegak berdiri dan menjadi kekuatan ekonomi dunia.

Kuncinya terletak pada sikap ojigi, mengakui kekalahan, memberi hormat, dan menancapkan tekad kuat untuk terus maju ke depan. Kita boleh jadi tak memenangkan pertarungan di masa kini. Tapi kita punya sekuntum asa untuk memenangkan masa depan.

Sebagaimana simbol pada bendera Jepang yang bermakna hinomaru. Di depan selalu ada matahari harapan. (*)

*) Penulis adalah blogger, peneliti, dan sering membuat catatan tidak penting di www.timur-angin.com

Editor


Komentar
Banner
Banner