bakabar.com, JAKARTA - Ingatan masyarakat Banjar akan sosok ulama termashyur Syeikh Arsyad Al-Banjari atau Datu Kalampayan dihimpun dalam rekaman film yang prosesnya penuh tantangan.
Betapa tidak, karya yang diprakarsai Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Selatan tersebut menuai ragam pandangan, terlebih jika menyorot pada jumlah anggaran yang digelontorkan.
Sebagai informasi, berdasarkan penelusuran bakabar.com melalui situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemprov Kalsel. Dalam lamannya tertulis nilai pagu paket pengadaan jasa pembuatan film islamic senilai Rp Rp. 5.840.800.000.
Lewat anggaran itu, project film biopik Datu Kalampayan bertajuk Matahari dari Bumi Banjar selanjutnya digarap oleh PT Expressa Pariwara Media selaku pemenang tender dengan angka pengajuan sebesar Rp.4,9 miliar, dan setelah dipotong pajak menyisakan Rp.4,4 miliar. Dalam perhitungan tersebut, ada nilai penghematan sekitar 800 juta rupiah.
Munir Shadikin ketua Forum Sineas Banua mengemukakan bila film yang digarap sebagai transfer knowledge itu belum optimal. Keterangan tersebut didasarkan pada alur, penokohan, hingga pesannya tidak berjalan dalam kereta emosi yang baik.
“Sebagai produk sinematografik, film dengan budget segitu belum secara optimal mengangkut bangunan cerita, makanya fragamentasinya terasa datar. Untuk proses penyampaian juga belum dijahit mulus,” tukas lelaki yang juga pengajar di SMK Perfilman di Banjarmasin.
Lebih lanjut, Munir juga menilik persoalan directing sebagai ujung tombak dari kurangnya pendalaman karakter yang berhulu pada pemilihan pemain.
“Pelibatan sineas lokal, secara skala, belum mumpuni untuk menjadi wahana transfer knowledge selama proses produksi,” sambungnya.
Tantangan dan Solusi
Menanggapi hal itu, lewat sebuah wawancara khusus bersama bakabar.com, sang produser Chandra P. Restu menjelaskan adanya sejumlah benturan yang membuat dia dan tim perlu “berkompromi" demi mengakomodir keinginan berbagai pihak terkait.
Sebagai film model yang bekerjasama dengan pemerintah, ada rentetan prosedur yang dihadapi. Alih-alih ingin menyampaikan kronika perjalanan hidup tokoh utama secara filmis, pada praktiknya project ini pun menemui tantangan sejak praproduksi.
“Mula-mula adalah FGD yang menjadi evaluasi berjangka, di mana dalam forum tersebut menghasilkan output yang mengintervensi bahkan mengubah konsep film. Misalnya waktu memulai proses shooting, penulisan, penokohan, hingga boleh tidaknya sosok Datu Kalampayan dimunculkan. Semuanya harus menyesuaikan kesepakatan zuriat atau keturunan Datu Kalampayan,” ujar Chandra.
Terkait dana, Chandra juga mengklarifikasi bila dana yang digunakan tidak seluruhnya untuk biaya produksi, melainkan diserap juga untuk rangkaian persiapan, FGD, pengawasan, promosi, serta pajak.
“Jangan dilihat angka bulatnya, sebab paket anggaran harus mengakomodir hal teknis semisal administrasi, riset, dan diskusi berjangaka dengan semua pihak yang berkepentingan terhadap film ini,” tukasnya.
Merangkul Sineas Lokal
Mengenai pelibatan sineas lokal, menurut Chandra, hal itu menjadi konsen timnya juga. Kru hingga pemain lokal perlu diakomodir sebab mengacu pada tujuan film ini dicetuskan, yaitu capacity building untuk masyarakat Banjar.
“Kami melibatkan 90 persen pemain lokal, sisanya dari Jakarta,” jelasnya.
Pemain lokal yang dimaksudkan Chandra meliputi pemeran dan kru yang secara khusus diambil dari dua SMK jurusan perfilman di Banjarmasin, semua dilibatkan dengan sistem magang sehingga komunikasi dalam kapasitas kerja bisa berjalan sinergis.
“Selama 16 hari proses produksi, mereka (kru magang) mendapatkan ilmu dengan terlibat langsung dalam proses pembuatan film, dan kami juga terbantu,” ungkap Chandra.
Semua Meraup Pelajaran
Pembuatan film ini dimaksudkan Pemprov Kalsel agar generasi milenial kembali mengingat tentang perjalanan seorang ulama Banjar. Berangkat dari gagasan Gubernur Kalsel Sahbirin Noor yang terpantik mengenalkan betapa fenomenalnya karya-karya Datu Kalampayan.
Munir Shadikin kembali mengkritisi bila memang pembuatan film ini dimaksudkan sebagai bagian dari janji politik sang gubernur, yang sekaligus menjadi agenda promosi sosok Datu Kalampayan sebagai Pahlawan Nasional, maka sepatutnya bisa digarap lebih epic dan efektif.
“Kita semua berharap, penggarapan film ini tidak berhenti sebagai project musiman belaka, namun ini menjadi monumen dalam jalan panjang pendidikan. Sebab film sebagai produk pengetahuan akan bergulir bagi generasi bangsa, khususnya muda-mudi Banjar,” jelas Munir.
Tanggapan berbeda disampaikan Chandra, selaku produser yang mengikuti rangkaian film sejak awal ditender, dirinya sempat mengira bahwa output yang diharapkan oleh Pemprov Kalsel adalah film dokumenter.
Belakangan usai tender dan urusan administrasi selesai, rangkaian proses pengerjaan pun harus mengalami banyak penyesuaian. Termasuk mengakomodir 2 sutradara Joko Santoso dan Zulkifli Anwar yang saling berkolaborasi.
“Tim kami semula mengira film ini akan dikemas sebagai semi-dokumenter, namun pada perjalannnya mengalami perubahan yakni ingin menampilkan berbagai unsur, utamanya 13 ilmu fiqih dari Datu Kalampayan dalam kronika bercerita,” terangnya.
Kompromi Jadi Opsi
Dengan durasi 88 menit yang dihadirkan, film Datu Kalampayan menjadi obsesi banyak pihak dalam merekam ajaran dan keteladanan sang tokoh.
Silang sengkarut yang menyertai baik sebelum hingga sesudah film ini ditayangkan di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Senin (26/12) lalu adalah upaya semua pihak mengemas ulang jejak langkah ulama besar yang dikagumi.
Olehnya, hingga tulisan ini dirilis, Chandra sang produser meyakinkan bahwa proses perbaikan film masih berlanjut. Sebab saat itu, dengan mepetnya waktu penayangan membuat tim "berkompromi" dengan menayangkannya sesuai jadwal adminstratif pemerintah.
"Sekali lagi, film ini bukanlah garapan komersial, melainkan film model yang bertujuan mendokumentasikan sekaligus menyiarkan pembelajaran, at least ini jadi pembelajaran semua pihak," tandasnya.