bakabar.com, BANJARMASIN - Anggota DPRD Banjarmasin beramai-ramai menyoroti pembuatan film Jendela Seribu Sungai.
Selain menyedot anggaran miliaran, rencana pembuatan film juga tidak pernah dibicarakan dalam rapat pembahasan anggaran.
Film Jendela Seribu Sungai sendiri digagas oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasin melalui Dinas Kebudayaan, Kepemudaan, Olahraga dan Pariwisata (Disbudporapar).
Ditarget selesai tahun ini, anggaran yang dikucurkan untuk film itu senilai Rp6,6 miliar bersumber dari APBD-Perubahan.
Lantas, hal itu menuai kritik dari salah satu anggota Badan Anggaran DPRD Banjarmasin, Afrizaldi.
"Tidak pernah dibahas," ucap politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut, belum lama tadi.
Kecuali, kata dia, dibahas di luar rapat resmi atau dengan menggeser satu kegiatan lain yang tidak bisa dilakukan.
"Misalnya promosi wisata, tapi digeser dengan pembuatan film. Namun, itu kan akal-akalan anggaran," katanya.
Semestinya, ujar dia, Pemkot Banjarmasin tidak boleh melakukan siasat seperti itu. Mengingat, setiap kegiatan harus mengacu pada APBD.
Lalu, juga sudah ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Yang semuanya itu tentu berskala penting.
"Jika memang ingin membuat film, ya sampaikan saja, persentasikan ingin membuat film seperti apa, targetnya bagaimana dan sebagainya," cecarnya.
"Jangan malah kemudian menyeret DPRD seakan-akan menyetujui hal tersebut," lanjutnya.
Afrizal menjamin pihaknya dari Fraksi PAN ada 4 orang yang menduduki Banggar, tidak ada satupun yang pernah mendengar pembahasan film, apalagi menyetujuinya.
Baca Juga: Syuting Film Jendela Seribu Sungai Dimulai, Wali Kota Banjarmasin Kebagian Peran
Afrizal menekankan, saat ini masih banyak masyarakat yang memerlukan pembangunan infrastruktur yang lebih prioritas daripada hanya sekadar membuat film.
Apalagi dana yang digunakan untuk membuat film adalah uang rakyat bayar pajak. Tentu masyarakat yang lebih diprioritaskan.
Ia kembali mengingatkan persoalan yang hingga kini masih membelit masyarakat seperti pembangunan infrastruktur.
Ia bilang, masih ada warga kesulitan menjalankan aktivitas lantaran akses jalan lingkungan berupa titian kayu yang rusak berat.
“Padahal, Banjarmasin terkenal dengan kota perdagangan dan jasa. Tapi bagaimana semua itu bisa terjadi, lantaran jalurnya aktivitas masyarakatnya saja masih terhambat,” tekannya.
“Masih ada warga yang harus urunan dan mengumpulkan sumbangan untuk membangun fasilitas atau infrastruktur jalan mereka contohnya di Pulau Bromo, Kelurahan Mantuil,” sambungnya.
Kondisi itu menurutnya, bertolak belakang dengan apa yang sejauh ini dikerjakan pemkot.
“Kalau yang jadi dasar kita tidak bisa membangun fasilitas untuk warga karena keterbatasan anggaran, toh ternyata bisa saja membuat film Rp6 miliar,” singgungnya.
Itu belum berbicara tentang fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan yang layak, hingga bidang sosial lainnya.
“Kami tidak melarang pemkot mau bikin film atau apa. Yang penting, tupoksi tugas utama sebagai kepala daerah sudah terpenuhi. Kalau belum, ini kan pencitraan namanya,” tudingnya.
Lantas, bagaimana bila pembuatan film itu dinilai sebagai upaya untuk mempromosikan hingga memajukan pariwisata?
Terkait hal itu, Afrizal menegaskan, mesti ada tolok ukur.
Pertama, seberapa besar penghasilan dari kunjungan wisatawan yang selama ini datang. Kemudian, apa yang menjadi daya tarik dari Banjarmasin.
"Banjarmasin selama ini terkenal dengan branding Kota Seribu Sungai. Mestinya yang utama dibenahi adalah sungai di sini harus tidak boleh kotor dan unik, tapi selama ini bagaimana? Lantas apa yang memotivasi orang untuk datang," paparnya.
“Wisata yang kita jual itu wisata sungai, kuliner dan wisata religi, kalau semua hal itu justru tidak dibenahi betul-betul, maka apa yang membuat orang berwisata ke Banjarmasin,” tekannya.
Lantas, Afrizal bertanya apakah semua permasalahan yang ada, baik itu pendidikan, kesehatan, infrastruktur, persoalan sosial dan lain sebagainya bisa selesai dengan membuat film?
"Itu bukan solusi,” tegasnya.
Tak habis sampai di situ, Afrizal mendesak agar jangan sampai pemerintah daerah justru tidak bisa membuat perencanaan yang matang hingga memberikan solusi bagi masyarakat.
“Pemkot mestinya memiliki kepekaan melihat persoalan. Ini adalah bentuk bahwa pemkot tidak peka terhadap permasalahan masyarakatnya,” ucapnya.
“Jangan kaget bila nanti ada yang mempertanyakan, ini kepala daerah ingin membenahi kota atau jadi aktor. Kalau pengin jadi aktor, minta saja ikut pemilihan peran (casting) di Jakarta sana,” tuturnya.
Terpisah, Ketua Komisi II DPRD Banjarmasin, Awan Subarkah dengan tegas meminta agar proses pembuatan film dihentikan.
"Kami dari Komisi II DPRD Banjarmasin tidak pernah mengetahui adanya usulan anggaran Rp6,6 miliar untuk pembuatan film itu," katanya, Selasa (15/11).
"Sehingga kami meminta agar proses pembuatan film itu tidak dilanjutkan. Ini anggaran yang terlalu besar hanya untuk pembuatan film," tambahnya.
Awan menyebut, jika anggaran sebesar itu bisa diprioritaskan untuk kegiatan lain yang lebih bermanfaat, misalnya peningkatan kebudayaan lokal, pembinaan seniman lokal dan sebagainya.
Komisi II DPRD Banjarmasin lantas bermaksud untuk memanggil jajaran Disbudporapar untuk mengklarifikasi hal tersebut.
Sementara itu, Kepala Disbudparpora, Iwan Fitriady mengatakan, siap untuk hadir jika dipanggil DPRD Banjarmasin.
"Siap menghadiri RDP yang dilakukan oleh Komisi II DPRD Banjarmasin dan akan menjelaskan segala hal yang menyangkut soal proses pembuatan film tersebut," tandasnya.