Sejak masih kuliah, Tejo sudah bersentuhan dengan tradisi aktivisme. Dia sering keliling Indonesia dan bertemu banyak petani kopi. Saat membangun Rumah Kopi Ranin, dia meniatkan akan menjadi bisnis wirausaha sosial.
“Saat bicara kopi, kita hanya fokus pada rasa. Kita lupa kalau kopi itu ada yang nanam, ada yang memuliakan kopi. Kita lupa pada petani kopi. Mereka terabaikan. Mereka dikalahkan oleh rasa kopi yang jelas-jelas ditanamnya,” kata Tejo.
Rumah Kopi Ranin menjadi tempat pertemuan bagi petani kecil dan penikmat kopi. Baginya, kedai kopi itu adalah etalase yang membuat petani terlihat. Dia menyadari perlu mengenalkan kopi lewat kegiatan public coffee cupping setiap pekan. Kegiatan ini memperluas pasar fine coffee sekaligus menambah pamor rumah kopinya.
Tejo dan Uji bertualang ke sentra-sentra produksi kopi. Mereka bertemu petani dan berdiskusi banyak hal. Menurutnya, banyak petani yang hanya menanam, tanpa mengetahui kualitas kopi yang ditanamnya. Bahkan banyak petani yang tidak tahu bedanya Robusta dan Arabica.
“Kami menunjukkan kopi-kopi yang sudah kami sortir. Kadang kami bilang kopinya belum layak. Kami minta mereka mencicipi kopi yang sudah disortir dan belum. Mereka heran kok rasanya beda? Kok lebih enak?” katanya.
Dia melanjutkan, “Kami ajak mereka untuk tahu mutunya. Mutu ada di cita rasanya.Kami ajari petani bagaimana membedakan cita rasa. Beda pengolahan, beda cita rasa. Untuk bikin masakan enak, bumbunya apa saja.”
Tejo dan Uji lalu memprakarsai berdirinya Sekolah Kopi, yang memberikan pelatihan dan pemberdayaan pada petani. Di sini, terjadi proses alih pengetahuan sehingga petani paham mana kopi dengan kualitas terbaik.
Sekolah Kopi mempertemukan para petani dengan para ahli, juga dengan para pebisnis dan pemilik kafe. Berkat Sekolah Kopi, petani bisa memahami kualitas kopi serta hal-hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas. Petani pun paham fair trade sehingga kopinya bisa dipasarkan dengan harga pantas. Mereka tidak dieksploitasi para tengkulak.
Saat petani sudah bisa menghasilkan kopi terbaik, pertanyaan berikutnya, ke mana hendak menjual kopi terbaik itu. Tejo lalu membeli kopi tersebut dengan harga pantas, kemudian dipasarkan di Rumah Kopi Ranin. Saat ini, Rumah Kopi Ranin telah bermitra dengan 100 petani kopi yang rutin memasok kopi dengan kualitas terbaik.
Kerja kerasnya muai membuahkan hasil. Pihak IPB menggandeng Rumah Kopi Ranin dalam program konservasi untuk kerjasama dengan petani kopi di Kampung Cibulao. Hasilnya, Kopi Cibulao meraih peringkat pertama tingkat nasional kopi robusta pada Kontes Kopi Spesialiti Indonesia di tahun 2016.
Namun, kerja belum selesai. Di rumah kopi itu, Tejo menanam banyak harapan untuk Indonesia. Meskipun Indonesia adalah produsen kopi terbesar keempat di dunia, nasib petani masih jauh dari sejahtera. Indonesia harusnya menjadi rumah yang memberi rasa nyaman, bukan hanya bagi penikmat kopi, tetapi juga para petani.
“Saya ingin petani menjadi tuan di negerinya sendiri. Mereka harus berdaulat,” katanya.
www.timur-angin.com