apahabar, JAKARTA - Suasananya serupa pedesaan di tepi hutan. Kedai ini seakan tersembunyi dari peradaban. Dari tepi jalan alternatif menuju kampus IPB Dramaga, Rumah Kopi Ranin tak terlihat. Hanya ada papan penanda kecil yang menunjukkan lokasinya agak ke lembah.
Bersama seorang kawan, saya pun menuruni jalan batu yang disusun apik. Mulanya saya menemui rumah kayu yang di depannya tertera tulisan lumbung kopi. Di dekatnya ada peta persebaran kopi Nusantara. Saya lanjut menuruni tangga batu. Rumah Kopi Ranin terlihat di tengah hamparan rumput dan penohonan.
Di kedai yang tampilannya seperti rumah pedesaan ini, banyak orang duduk di kursi kayu sederhana. Banyak orang sengaja datang dari lokasi yang jauh.
Rumah Kopi Ranin tak hanya menyajikan petualangan menikmati kopi dari berbagai lokasi di Nusantara, namun juga menyajikan kisah-kisah, pengetahuan, aktivisme juga diskusi-diskusi mendalam mengenai kopi.
Baca Juga: Mencium Aroma Kopi Indonesia di Inggris
Di sini, kopi serupa portal untuk memasuki banyak hal. Bukan cuma rasa, tapi juga ada kisah-kisah mengenai petani kopi yang setiap hari menelusuri tanaman kopi sembari berharap tanamannya tumbuh sehat hingga tersaji di berbagai kafe mahal seluruh dunia. Di setiap tetes rasa nikmat, ada kisah getir para petani.
“Mas Yus mau pesan kopi apa?” Seorang pramusaji datang dengan memakai kain batik. Saya merasa baru dua kali ke sini. Namun dia menghafal nama saya. Di rumah kopi ini, keramahan dan kehangatan adalah bumbu penting yang menemani sajian kopi.
Saya spontan menyebut Mandailing. Tak lama kemudian, seorang pria berusia 50-an datang menyapa. Saya bisa memanggilnya Mas Teji. Dia pemilik rumah kopi Ranin. Dia bersama pramusaji tadi yang datang membawa secangkir kopi Mandailing.
“Ini namanya kopi Mandailing, yang merupakan nama daerah di Sumatera Utara. Kopi ini cocok untuk mereka yang sering terkena sakit mag,” kata Tejo.
Rasanya agak pahit. Ia lalu menyodorkan gula. Namun saya terus meminumnya. Dia tersenyum, lalu berkata, “Pilihanmu tepat. Rasa pahit adalah bagian dari kopi. Lewat rasa pahit itu, kita bisa tahu banyak hal, misalnya tentang kondisi tanaman kopi di daerah asalnya, hingga rasa kopi yang sesungguhnya.”
Ia lalu bercerita tentang Mandailing sebagai sebuah tempat di Sumatera Utara. Ia juga menjelaskan tentang jenis-jenis vegetasi tanaman, serta kondisi geografis mengapa kopi Mandailing memiliki rasa yang unik.
Sebelum perang dunia kedua, Kopi Mandailing telah tersohor. Di luar negeri, kopi ini lebih dikenal dengan nama Mandheling Coffee. Kopi ini dijual dalam bentuk bubuk maupun biji. Sejarah mencatat bahwa Belanda membawa kopi ke wilayah Mandailing yang kemudian dijadikan sebagai pusat penanaman dan pengembangan kopi arabika.
PRIA itu bernama Tejo. Lengkapnya Tejo Pramono. Ia adalah salah satu pemilik Rumah Kopi Ranin. Ranin adalah kepanjangan dari “Rakyat Tani Indonesia.”
Bersama sahabatnya Uji Sapitu, ia mengelola kedai kopi tersebut untuk merawat gagasan-gagasan penting mengenai perlunya memberdayakan petani kopi. Mereka tidak saja menyajikan kopi, namun juga pengetahuan tentang kopi, serta kekayaan sosial budaya yang menjadi lahan tempat kopi tumbuh.
Keduanya adalah alumnus Institut Pertanian Bogor (IPB). Jika Uji belajar di Teknologi Pangan, maka Tejo di Mekanisasi Pertanian. Keduanya dahulu tinggal di asrama yang sama. Ketika ada gagasan untuk membuat kedai kopi bersama, mereka sangat antusias. Mereka adalah penikmat kopi yang berusaha memahami segala hal tentang kopi.
Tejo sangat bersemangat ketika ditanya tentang teknik penyajian kopi. Katanya, kedai Ranin memang sengaja menggunakan alat manual. Kedai kopi ini berani melakukan inovasi dengan manual brewing untuk bersaing dengan kafe-kafe lain yang menggunakan mesin espresso sebagai alat untuk membuat milk base coffee.
Sejak masih kuliah, Tejo sudah bersentuhan dengan tradisi aktivisme. Dia sering keliling Indonesia dan bertemu banyak petani kopi. Saat membangun Rumah Kopi Ranin, dia meniatkan akan menjadi bisnis wirausaha sosial.
“Saat bicara kopi, kita hanya fokus pada rasa. Kita lupa kalau kopi itu ada yang nanam, ada yang memuliakan kopi. Kita lupa pada petani kopi. Mereka terabaikan. Mereka dikalahkan oleh rasa kopi yang jelas-jelas ditanamnya,” kata Tejo.
Rumah Kopi Ranin menjadi tempat pertemuan bagi petani kecil dan penikmat kopi. Baginya, kedai kopi itu adalah etalase yang membuat petani terlihat. Dia menyadari perlu mengenalkan kopi lewat kegiatan public coffee cupping setiap pekan. Kegiatan ini memperluas pasar fine coffee sekaligus menambah pamor rumah kopinya.
Tejo dan Uji bertualang ke sentra-sentra produksi kopi. Mereka bertemu petani dan berdiskusi banyak hal. Menurutnya, banyak petani yang hanya menanam, tanpa mengetahui kualitas kopi yang ditanamnya. Bahkan banyak petani yang tidak tahu bedanya Robusta dan Arabica.
“Kami menunjukkan kopi-kopi yang sudah kami sortir. Kadang kami bilang kopinya belum layak. Kami minta mereka mencicipi kopi yang sudah disortir dan belum. Mereka heran kok rasanya beda? Kok lebih enak?” katanya.
Dia melanjutkan, “Kami ajak mereka untuk tahu mutunya. Mutu ada di cita rasanya.Kami ajari petani bagaimana membedakan cita rasa. Beda pengolahan, beda cita rasa. Untuk bikin masakan enak, bumbunya apa saja.”
Tejo dan Uji lalu memprakarsai berdirinya Sekolah Kopi, yang memberikan pelatihan dan pemberdayaan pada petani. Di sini, terjadi proses alih pengetahuan sehingga petani paham mana kopi dengan kualitas terbaik.
Sekolah Kopi mempertemukan para petani dengan para ahli, juga dengan para pebisnis dan pemilik kafe. Berkat Sekolah Kopi, petani bisa memahami kualitas kopi serta hal-hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas. Petani pun paham fair trade sehingga kopinya bisa dipasarkan dengan harga pantas. Mereka tidak dieksploitasi para tengkulak.
Saat petani sudah bisa menghasilkan kopi terbaik, pertanyaan berikutnya, ke mana hendak menjual kopi terbaik itu. Tejo lalu membeli kopi tersebut dengan harga pantas, kemudian dipasarkan di Rumah Kopi Ranin. Saat ini, Rumah Kopi Ranin telah bermitra dengan 100 petani kopi yang rutin memasok kopi dengan kualitas terbaik.
Kerja kerasnya muai membuahkan hasil. Pihak IPB menggandeng Rumah Kopi Ranin dalam program konservasi untuk kerjasama dengan petani kopi di Kampung Cibulao. Hasilnya, Kopi Cibulao meraih peringkat pertama tingkat nasional kopi robusta pada Kontes Kopi Spesialiti Indonesia di tahun 2016.
Namun, kerja belum selesai. Di rumah kopi itu, Tejo menanam banyak harapan untuk Indonesia. Meskipun Indonesia adalah produsen kopi terbesar keempat di dunia, nasib petani masih jauh dari sejahtera. Indonesia harusnya menjadi rumah yang memberi rasa nyaman, bukan hanya bagi penikmat kopi, tetapi juga para petani.
“Saya ingin petani menjadi tuan di negerinya sendiri. Mereka harus berdaulat,” katanya.
www.timur-angin.com