bakabar.com, JAKARTA - Rebecca Klopper akhirnya buka suara soal video asusila yang viral beberapa waktu lalu. Dirinya memohon maaf ke sejumlah pihak, sekaligus mengucapkan terima kasih atas dukungan yang terus mengalir untuknya.
“Saya mohon doa dari semua pihak agar saya selalu diberikan kekuatan dalam menghadapi permasalahan yang tengah saya hadapi,” demikian penggalan klarifikasi Becca pada Selasa (6/6) lalu.
Jauh sebelum menggelar klarifikasi, tepatnya pada Senin (22/5), Becca juga sudah melaporkan permasalahan mengenai video syur mirip dirinya ke kepolisian. Selama kasus itu bergulir, nama mantan kekasihnya, Rizky Pahlevi, ikut terseret.
Pria yang akrab disapa Kipe ini, disebut-sebut sebagai dalang yang menyebarkan video syur mirip Becca. Pihaknya pun sudah membantah tudingan tersebut, dan justru mengungkapkan fakta bahwa video itu digunakan oleh orang lain untuk memeras Becca.
Hal serupa juga disampaikan kuasa hukum Becca, Ahmad Ramzy. Dia membenarkan bahwa video tersebut digunakan untuk memeras kliennya. Adapun pengancaman itu dilakukan lewat Direct Message (DM).
“Pemerasan dilakukan menggunakan akun media sosial Instagram. (Pelaku) mengirimkan DM yang berupa bunyi ancaman akan menyebarkan video, termasuk mengirimkan capture," jelasnya.
Revenge Porn
Apa yang dialami Becca bisa disebut sebagai revenge porn alias pornografi balas dendam. Ini merupakan salah satu bentuk kekerasan di dunia siber, yang menyebarkan konten intim tanpa persetujuan dari yang bersangkutan.
Revenge porn kerap dimaknai sebagai perlakuan dari seorang lelaki untuk mempermalukan mantan kekasihnya. Padahal, penyebaran video syur tanpa izin bukan cuma didorong motif balas dendam.
Franks dalam Drafting an Effective ‘Revenge Porn’ Law: A Guide for Legislators (2015) menyebut ada motif lain yang membuat seseorang menyebarkan video syur tanpa izin. Beberapa di antaranya ialah motif ekonomi, ketenaran, atau hiburan.
Karena itulah, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) berpendapat bahwa istilah revenge porn akan lebih tepat disebut sebagai non-consensual dissemination of intimate images (NCII).
Menurut organisasi tersebut, penggunaan kata “revenge” mengkonstruksikan seakan korbanlah yang bersalah (victim blaming). Korban seolah-olah melakukan ‘kesalahan’ lebih dulu, sehingga pantas mendapat ancaman penyebaran konten intim.
Istilah ‘porn’ juga memberi kesan bahwa konten tersebut memang dibuat untuk konsumsi publik. Padahal, bisa saja korban tidak memberi izin untuk direkam, atau justru mendapat intimidasi atau dimanipulasi oleh pelaku.
Ironi yang Justru Membungkam Korban
Ketika video syur seseorang tersebar tanpa sepengetahuannya, tentulah mereka yang paling dirugikan. Ironisnya, alih-alih melapor ke pihak berwajib, mereka justru menerima cacian dan berbagai stigma negatif.
Manakala konten porno tersebar di jejaring sosial, pengguna internet begitu antusias beropini, mengadili, mengutuk, menghujat serta mempermalukan mereka yang terpampang di foto, lalu melabelinya sebagai pelacur.
Victim blaming dan slut shaming pun tak terhindarkan. Hal ini jelas memengaruhi kehidupan korban, baik secara fisik maupun mental. Sheman Law USA menyatakan korban mengalami kecemasan, depresi, gangguan tidur, panik, hingga isolasi.
Bahkan, ada kemungkinan hal itu menyebabkan seseorang dihantui rasa takut terus-menerus. Korban pun mengalami tekanan pikiran akibat malu, bersalah, dan merasa harus bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukan pelaku.
Cyber Civil Right Initiative menyebut kondisi yang demikian menyebabkan seseorang mulai menarik diri. Rasa malu dan gunjingan dari lingkungan sekitar menjadi paduan utama yang mengganggu ketenangan korban.
Belum lagi dampak yang disebabkan jika kasus terus merambat hingga ke ranah pekerjaan. Seseorang mungkin kehilangan mata pencaharian, karena dokumentasi pribadinya disebar pihak tidak bertanggung jawab.
Lakukan Ini jika Mengalami NCII
Mengingat begitu banyak dampak negatif bagi korban NCII, SAFENet memberi rekomendasi agar mereka tidak diam saja. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, salah satunya putuskan komunikasi dengan pelaku.
Namun sebelum itu, korban perlu menyimpan bukti screenshot (tangkapan layar) atas ancaman yang diberikan oleh pelaku. Masukkan link postingan media sosial yang digunakan pelaku untuk melakukan tindak kekerasan.
Simpan barang bukti tersebut dengan membuat catatan kronologi kejadian. Hal ini dapat memudahkan jika suatu saat korban ingin melapor ke pihak berwenang.
Sembari menunggu tindakan dari pihak berwenang, korban juga bisa menggunakan fitur report yang ada di setiap media sosial terhadap akun dan postingan yang dibuat pelaku. Report terus menerus akan membuat pelaku diblokir secara permanen oleh media sosial.