bakabar.com, JAKARTA – Pimpinan Pusat Muhammadiyah menepis isu islamisasi dalam Rancangan Undang-Undang (UU) yang mengatur tentang minuman beralkohol atau minol.
“Undang-undang minuman beralkohol bukan merupakan usaha Islamisasi. Banyak negara Barat yang mengatur sangat ketat konsumsi dan distribusi minuman beralkohol,” kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti, Senin (16/11).
Menurutnya, UU minuman beralkohol sangat penting dan mendesak.
Konsumsi alkohol dinilai salah satu masalah yang berdampak buruk terhadap kesehatan, kejahatan, moralitas dan keamanan.
“Banyak tindak kejahatan, kecelakaan lalu lintas yang fatal dan berbagai penyakit bermula dari konsumsi alkohol yang berlebihan,” ujar Abdul Mu’ti.
Regulasi mengenai minuman beralkohol, kata dia, minimal harus mengatur empat hal. Di antaranya ketentuan kadar alkohol maksimal dalam minuman yang diperbolehkan.
Selanjutnya, kata dia, kriteria batas usia minimal yang boleh mengonsumsi miras, tempat konsumsi yang legal serta tata niaga/distribusi yang terbatas.
Sementara itu, Wasekjen Majelis Ulama Indonesia KH Rofiqul Umam Ahmad mendesak regulasi minuman beralkohol harus masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas. Dalam pandangan Islam, kata dia, minuman beralkohol merupakan induk dari segala kejahatan.
“Orang kalau sudah minum-minuman keras kemudian dia mabuk, bisa melakukan apa saja yang merusak dirinya, mengancam jiwa orang lain, termasuk melakukan kejahatan,” kata dia.
Rofiq mengatakan RUU Minuman Beralkohol itu tidak untuk menguntungkan Islam saja.
Nantinya ada pengecualian penyesuaian untuk setiap agama dan kepercayaan. Inti dari RUU itu, agar peredaran minuman beralkohol lebih terawasi sehingga tidak merugikan banyak kalangan.
Dia mengatakan MUI sejak 2017 sudah membahas masalah tersebut dan merancang materi yang mendalam. Karena itu, MUI siap memberikan masukan untuk menyempurnakan RUU ini bila diperlukan.