Raden Ayu Lasminingrat

Raden Ayu Lasminingrat, Perjuangkan Kesetaraan Perempuan Sunda dalam Pendidikan

Pendidikan bagi perempuan di tanah Sunda menjadi sebuah sejarah panjang yang pernah diperjuangkan Raden Ayu Lasminingrat.

Featured-Image
Raden Ayu Lasminingrat. Foto: wikimedia commons

bakabar.com, JAKARTA – Pendidikan bagi perempuan di tanah Sunda menjadi sebuah sejarah panjang yang pernah diperjuangkan Raden Ayu Lasminingrat.

Raden Ayu Lasminingrat, putri sulung dari Raden Haji Muhamad Musa dan Raden Ayu Ria, adalah seorang penghulu dan sastrawan Sunda. Pada masa pemerintahan kolonial yang belum mengakui pendidikan dan hak perempuan sebagai hak asasi di Nusantara, terbitlah sosok yang akan mengubah sejarah.

Dengan keyakinan akan kepentingan pendidikan dan kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender, Raden Haji Muhamad Musa, sang ayah, dengan gagah berani mendirikan sebuah sekolah Eropa yang ia beri nama Bijzondere Europeesche School.

Di sekolah ini, dia tidak hanya menggaji dua guru Eropa untuk mengajar anak-anak, tapi juga mengizinkan anak-anak Eropa dan pribumi bersekolah bersama-sama, termasuk anak-anak laki-laki dan perempuan.

Baca Juga: Marie Thomas, Dokter Perempuan Pertama di Indonesia

Raden Ayu Lasminingrat dan keluarga. Foto: wikipedia
Raden Ayu Lasminingrat dan keluarga. Foto: wikipedia

Di dalam sekolah ini, anak-anak Eropa dan pribumi belajar bersama, bahkan anak perempuan dan laki-laki belajar bersama, mematahkan norma-norma konvensional pada masa itu.
Kontrolir Levisan, seorang sekretaris Jendral Pemerintah Hindia Belanda, yang kenal baik dengan ayah Lasminingrat, membimbingnya dengan tekun dalam bahasa Belanda dan menulis.

Di tengah buku-buku dan kertas-kertas yang mencerminkan kemegahan Barat, Lasminingrat menemukan kegemarannya dalam belajar kemudian menjadi mahir dalam berbahasa Belanda.

Lasminingrat berhasil memukau Karel Frederik Holle, seorang administrator di Perkebunan Teh Waspada, Cikajang, hingga ia memberinya pujian yang mengagumkan. Kemampuan Lasminingrat dalam menerjemahkan cerita-cerita dongeng Barat ke dalam bahasa Sunda juga mendapat penghargaan.

Baca Juga: Laksamana Malahayati, Pejuang Perempuan dari Aceh Bernyali Tinggi

Raden Ayu Lasminingrat dijadikan Google Doodle pada 29 Maret 2023. Foto: tempo
Raden Ayu Lasminingrat dijadikan Google Doodle pada 29 Maret 2023. Foto: tempo
Seiring waktu, Lasminingrat tidak hanya sekadar mempelajari kebudayaan Barat, tapi juga bercita-cita besar untuk memajukan peran dan kesetaraan derajat perempuan di Nusantara. Sejalan dengan Dewi Sartika dan Kartini, ia membayangkan masa depan yang lebih baik dan mewujudkannya dalam pendidikan.
Dari Pendidik ke Penulis

Pada tahun 1879, Lasminingrat mulai mempersembahkan ilmu pengetahuannya dengan mendidik anak-anak melalui buku bacaan berbahasa Sunda. Ia tak hanya mengajarkan pembacaan dan penulisan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral, agama, dan pengetahuan umum.

Dalam setiap cerita yang ia susun, ia memadukan kisah-kisah dari bahasa asing dengan budaya Sunda, menjadikannya mudah dimengerti.

Perjuangannya tidak berhenti di sana. Pada tahun 1907, dengan semangat penuh, Lasminingrat mendirikan Sakola Kautamaan Istri di lingkungan Ruang Gamelan, Pendopo Garut. Meskipun awalnya hanya terbatas untuk priyayi dan bangsawan lokal, ia berhasil membuka peluang pendidikan bagi kaum perempuan.

Kemudian semangatnya mengilhami dia untuk melangkah lebih jauh. Ia tidak hanya menjadi pendidik, tetapi juga seorang penulis. Karya terkenalnya, Warnasari (jilid 1 & 2), menjadi bukti kemampuannya dalam dunia sastra.

Ketika menikah dengan Raden Adipati Aria Wiratanudatar VII, Bupati Garut, Lasminingrat mengalihkan perhatiannya pada pendidikan perempuan Sunda.

Ia berjuang untuk memajukan peran perempuan melalui pendidikan. Pada tahun 1911, ia membuka Sekolah Kautamaan Istri di Jalan Ranggalawe. Sekolah ini berkembang dengan cepat, hingga mendapatkan pengakuan pemerintah Hindia Belanda pada 1913.

Baca Juga: S. K. Trimurti, Jurnalis Perempuan yang Perjuangkan Hak lewat Tulisan

Jasa besar Lasminingrat dalam membangun pendidikan bagi perempuan diakui oleh pemerintah kolonial. Ia diberi penghargaan dan kompensasi atas dedikasinya. Bahkan, seiring pergantian nama Kabupaten Limbangan menjadi Kabupaten Garut pada tahun 1913, pengakuan terhadapnya semakin meningkat.

Lasminingrat tidak hanya memberikan warisan pendidikan, tapi juga inspirasi. Hingga usianya mencapai 80 tahun, semangatnya tak pernah padam. Meskipun tidak lagi berada di garis depan pendidikan, Lasminingrat berkontribusi dalam perubahan melalui nama Sekolah Kautamaan Istri yang ia dirikan di bawah pemerintahan Jepang.

Pada tanggal 10 April 1948, Lasminingrat meninggal dunia pada usia 94 tahun, namun warisannya terus hidup. Ia dikuburkan di belakang Mesjid Agung Garut. Cita-cita dan perjuangannya diteruskan oleh keluarga dan generasi selanjutnya. Kisahnya layak jadi rujukan untuk memajukan pendidikan, merobohkan batasan gender, dan berjuang demi perubahan yang lebih baik.
Editor
Komentar
Banner
Banner