Gaya Hidup

Rachel Vennya Dituding FOMO Usai Pamer Nonton Konser BLACKPINK, Apa Itu?

Selebgram Rachel Vennya kembali menarik perhatian di media sosial. Unggahan foto dirinya menonton konser BLACKPINK di Gelora Bung Karno pada pekan lalu banjir h

Featured-Image
Rachel Vennya. Foto-net

bakabar.com, BANJAMASIN - Selebgram Rachel Vennya kembali menarik perhatian di media sosial. Unggahan foto dirinya menonton konser BLACKPINK di Gelora Bung Karno pada pekan lalu banjir hujatan.

"Born pink," tulis Rachel Vennya dalam unggahan Instagramnya, Minggu (12/3).

Alih-alih mendapatkan pujian dari warganet, ibu dua anak ini malah mendapatkan hujatan dan komentar kebencian (hate speech).

Warganet menuding Rachel hanya Fear of Missing Out atau FOMO.

"Rachel Vennya FOMO ya? Bukankan dia tidak kenal dunia idol Korea?" ujar @rey***.

"FOMO sekali ini orang," papar @fai***.

"Jadi BLINK -sebutan penggemar BLACKPINK- mendadak ya?" kata @coo***.

Tak tinggal diam, eks istri Niko Al Hakim ini menjawab tudingan tersebut.

"Tidak di TikTok ataupun di Instagram, isinya negatif komen semua. Apa karena saya nonton konser BLACKPINK kalian jadi kesal? Atau memang kalian sebenci itu sama saya?" ujar Rachel Vennya lewat Insta Stories pribadinya.

Lantas apa itu FOMO?

Apa Itu FOMO?

Menurut World Journal of Clinical Cases yang dikutip dari detikHealth, Selasa (14/3), istilah 'FOMO' mulai populer sejak 2004.

Tahun tersebut bertepatan dengan rilisnya Facebook, saat orang-orang bisa memamerkan kedekatan dengan teman-temannya atau kesehariannya melalui update status dan foto.

"Psikolog mulai menggunakan istilah FOMO pada awal tahun 2000-an untuk menggambarkan fenomena yang terkait dengan penggunaan situs jejaring sosial. Ini telah mendapatkan perhatian yang lebih besar selama bertahun-tahun karena kehadiran media sosial kami telah meningkat," kata pendiri Priority Wellness Group dan instruktur psikologi di Harvard Natalie Christine Dattilo, Ph.D.

"FOMO mencakup persepsi kehilangan, yang memicu kecemasan, dan perilaku kompulsif, seperti memeriksa dan menyegarkan situs, untuk menjaga hubungan sosial," lanjutnya.

Dattilo menambahkan, FOMO berkaitan erat dengan ketakutan seseorang akan dikucilkan. Ketakutan ini sudah ada jauh sebelum sosial media lahir.

Gejala FOMO

Meskipun saat ini FOMO bukan sesuatu yang bisa didiagnosis, namun FOMO memiliki sejumlah gejala spesifik.

Menurut laporan Technological Forecasting and Social Change 2021, berikut adalah gejala FOMO:

  • Mengecek sosial media dan melihat apa yang orang lain lakukan secara obsesif
  • Mengalami perasaan negatif saat membandingkan kehidupan seseorang dengan apa yang tampaknya dilakukan orang lain di media sosial
  • Merasa lelah secara mental dari media sosial

Adapun gejala FOMO lainnya menurut psikolog sosial dan profesor University of Oklahoma Health Sciences Center Erin Vogel, PhD:

  • Overscheduling (mencoba berada dimana-mana setiap saat)
  • Menarik diri dari orang lain
  • Merasa lelah secara fisik
  • Merasa sedih, cemas atau tertekan
  • Sulit berkonsentrasi
  • Mengalami kesulitan tidur

Penyebab FOMO

Vogel menuturkan, sosial media bukanlah satu-satunya penyebab seseorang menjadi FOMO.

Faktor lain misalnya, seperti menghadiri undangan pesta yang sebenarnya tidak ingin dihadiri. Alasannya agar tidak tertinggal pembicaraan mengenai hal-hal menarik terkait pesta tersebut.

"Sosial media memfasilitasi FOMO, tetapi orang-orang selalu merasakannya," kata Vogel.

Sementara apapun yang membuat seseorang merasa tersisih dapat menjadi penyebab FOMO. Menurut Dattilo, beberapa penyebab yang lebih umum meliputi:

  • Tidak memahami lelucon orang dalam yang ditertawakan orang lain (inside jokes)
  • Tidak dipilih sebagai anggota tim
  • Tidak diundang ke suatu acara
  • Kehilangan penawaran bagus, seperti diskon di toko

Alasan psikologis FOMO...

Alasan Psikologis FOMO

Rasa memiliki adalah kebutuhan dasar manusia. Satu studi yang berfokus pada gadis remaja menyebut kebutuhan ini sebagai 'kelaparan sosial'.

Istilah ini menggarisbawahi betapa pentingnya kebutuhan untuk dimiliki bagi sebagian orang dan mengapa mengalami FOMO dapat mempengaruhi orang-orang tertentu secara negatif. Merasa terhubung secara sosial (kebalikan dari FOMO) bahkan dikaitkan dengan hidup lebih lama dan lebih sehat.

Para peneliti mengatakan bahwa perasaan terikat dengan orang lain menyebabkan berkurangnya stres, yang mendukung sistem saraf dan sistem kekebalan tubuh. Sebaliknya, perasaan FOMO mempengaruhi otak yang mirip dengan kondisi kecemasan lainnya dengan mengaktifkan respons 'fight or flight'.

"Otak merasakan ancaman, ancaman sosial dalam kasus ini, dan membuat kita waspada. Sistem saraf kita menjadi gelisah dan kemudian kita menjadi tidak nyaman dan termotivasi untuk mencari kelegaan," kata Dattilo.

Kebutuhan akan bantuan ini sering mengarahkan orang langsung ke aplikasi media sosial favorit mereka.

"Sayangnya, dengan mencari kelegaan dengan cara ini, kita hanya mempertahankan atau bahkan memperkuat kecemasan yang memicunya," kata Dattilo.

FOMO juga dikaitkan dengan masalah kesehatan mental. Mengalami FOMO dapat dikaitkan dengan depresi, merasa lebih stres dan penurunan kepuasan hidup.

Siapa Saja yang Berisiko Mengalami FOMO?

Menurut Dattilo, usia remaja adalah usia yang rentan mengalami FOMO. Hal ini dikarenakan remaja memiliki waktu yang banyak untuk menggunakan internet.

Akan tetapi, bukan hanya anak muda saja yang berisiko mengalami FOMO. FOMO juga rentan dialami oleh orang-orang yang rajin menggunakan media sosial.

"Kemungkinan penggunaan media sosial dapat menyebabkan kita mengalami FOMO karena kita melihat 'highlight reels' dari kehidupan orang lain," katanya.

"Kemungkinan juga orang-orang yang sangat tertarik dengan hubungan sosial mereka lebih tertarik ke media sosial dan lebih rentan mengalami FOMO," lanjut Dattilo.

Sampai saat ini, sebuah studi yang lebih kecil dari tahun 2017 menemukan bahwa ekstrovert lebih cenderung menggunakan media sosial secara berlebihan daripada introvert.

Dattilo menambahkan, individu yang hidup dengan kecemasan sosial juga berisiko mengalami FOMO. Sebab, mereka lebih cenderung menghindari situasi sosial dan lebih mengandalkan media sosial untuk koneksi serta untuk mengurangi perasaan kesepian.

Editor


Komentar
Banner
Banner