bakabar.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim merekomendasikan untuk bersama-sama memerangi praktik perusakan dan penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (destructive, illegal, unreported, and unregulated/IUU fishing) yang terjadi di Provinsi Maluku Utara.
“Untuk mengatasi problematika tingginya angka kemiskinan di daerah kaya sumber daya perikanan, pemerintahan di Jakarta dan Sofifi mesti duduk bareng untuk mengorientasikan kebijakan, anggaran dan kelembagaan pemantauan (monitor), pengendalian (control) dan pengawasan (surveillance) atau MCS di Provinsi Maluku Utara dalam rangka memerangi perusakan dan IUU fishing,” ujar Halim ditemui di Jakarta, Kamis (27/6).
Di perairan Maluku Utara, lanjut dia, komoditas seperti ikan tuna, tongkol dan cakalang menjadi komoditas andalan yang diekspor ke Vietnam, Thailand, Filipina , Singapura, Amerika Serikat serta Korea Selatan.
Baca Juga: Hilirisasi Perikanan, Startup Akuakultur Targetkan 200 Ribu Pembudidaya
Dengan demikian, dirinya mengajak pemerintah pusat untuk bersungguh-sungguh menindaklanjuti penetapan perairan Provinsi Maluku dan Maluku Utara sebagai lumbung ikan nasional melalui kebijakan, anggaran dan kelembagaan untuk meningkatkan kapasitas pemantauan, pengendalian dan pengawasan di laut yang mumpuni.
Berdasarkan data yang dipaparkannya, produksi perikanan Maluku Utara pada 2022 mencapai 378.111 ton atau meningkat 106 persen dari target 356.400 ton. Maluku Utara bersinggungan langsung dengan empat Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Negara Republik Indonesia , yakni WPP 715, WPP 717, WPP 716 dan WPP 714.
Adapun WPP 714 pada 2022 memiliki potensi perikanan sebesar 1.033.978 ton, WPP 715 sebesar 715.293 ton, WPP 716 sebesar 626. 045 ton, kemudian WPP 717 sebesar 424. 703 ton.