bakabar.com, JAKARTA - Destructive Fishing Watch (DFW) melaporkan lebih dari separuh pelanggaran pekerja perikanan atau awak kapal perikanan (AKP) terjadi di kapal domestik mencapai 54,92 persen. Sedangkan sebanyak 45,08 persen terjadi di perikanan asing yang dialami oleh AKP migran.
"Laporan tersebut dikantongi di kanal pengaduan National Fisher Centre (NFC) yang selama ini menjadi aspirasi dan pengaduan pekerja perikanan," kata Human Right Manager DFW, Miftahul Choir, Minggu (10/12).
Miftahul menerangkan sejak NFC berdiri sejak 2019, sebanyak 122 laporan kasus telah dikantongi. Dari seluruh laporan tersebut, sebanyak 342 orang dilaporkan menjadi korban.
"Jadi satu kasus tidak mungkin melaporkan 1 orang bisa juga melaporkan 50-100 orang. Tergantung mereka mewakili berapa orang," ujarnya.
Baca Juga: EKBIS SEPEKAN: Petani Dibelengggu Kemiskinan hingga Respons Santai OIKN soal Pakuwon
Adapun lokasi terjadi pelanggaran paling banyak di WPP 718 yang mencakup Laut Aru, Laut Timor, dan Laut Arafuru yang selama ini menjadi area yang paling rentan terjadinya pelanggaran hak tenaga kerja.
Mengutip data Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan setidaknya terdapat sebanyak 940 SIUP/SIPKI di kawasan WPP 718 tersebut.
"Kawasan itu berada di luar Indonesia dan pengawasan minim. Rawan terjadi ilegal fishing seperti transit dan tidak menggunakan alat tangkap ramah lingkungan," ungkapnya.
Baca Juga: Edan! Kekayaan Prajogo Melesat 3 Kali Lipat, Low Tuck Kwong Tergeser
Sedangkan sebaran AKP yang paling banyak melakukan laporan adalah AKP yang berasal dari Sulawesi Utara yakni sebanyak 47 orang. Keseluruhan yang melaporkan merupakan AKP migran yang berangkat ke luar negeri.
Sulawesi Utara diketahui selama ini dikenal sebagai sentra ikan tuna yang hasil tangkapnya dijual di pasar Jepang.
"Sulut ini sangat rawan tindak pidana perdagangan orang bahwa provinsi terbesar terjadinya perdagangan orang," pungkasnya.