bakabar.com, JAKARTA - Target pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka untuk menggenjot tax ratio atau rasio perpajakan sebesar 23 persen dari Produk Domestik Bruto dinilai tidak realistis
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Akhmad Akbar Susamto mengatakan tax ratio Indonesia terhadap PDB itu 11 persen. Tidak mungkin dalam kurun waktu 5 tahun atau satu periode tax ratio Indonesia bisa melonjak hingga 12 persen.
"Jadi kalau nambahnya sampai 12 persen itu tidak realistis dengan waktu yang sesingkat ini," katanya kepada bakabar.com, Sabtu (30/12).
Baca Juga: APBD 2024 di Solo Capai Rp2,2 Triliun, Gibran: Segera Dieksekusi
Untuk mencapai 23 persen, menurutnya membutuhkan waktu hingga 15-30 tahun lagi. Itupun jika ada perubahan yang drastis dalam sektor ekonomi.
Pasalnya, dari pengalaman dia melihat tax ratio indonesia selama 10-15 tahun kebelakang, tidak ada perubahan yang signifikan.
"Kalau dalam waktu 5 tahun gak realistis Sampai 23%, dan pengalaman kita Selama 10 tahun 15 tahun terakhir angkanya sekitar segiru saja," terangnya.
Baca Juga: Geliat Bisnis Ritel: Lepas dari Pandemi, Persoalan Global Menghantui
Oleh karena itu, agar lebih masuk akal, dia menyarankan setidaknya pemerintahan selanjutnya bisa menaikan presentase rasio perpajakan secara bertahap, ke angka 12 atau 13 persen
Menurutnya, dengan peningkatkan satu persen pun, penerimaan rasio pajak di negeri ini sudah cukup tinggi.
"Naik satu persen masih lebih masuk akal. Itu aja Nambahnya banyak," ungkap dia.
Baca Juga: Masyarakat Sipil Dorong Bisnis yang Inklusif dan Berkelanjutan
Penting untuk tahu, peningkatan satu persen tax ratio memungkinkan negara mendapatkan penerimaan pajak hingga Rp200 triliun.
Dia menghitung dan merinci itu dari kemumgkinan jumlah pajak yang ditimpa oleh negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun 2023.
Menurutnya, pada tahun 2022 ini PDB Indonesia mencapai Rp19.500 triliun. Sementara di tahun 2023 berarti bisa saja mendekati Rp20.000 triliun.
"2023 mungkin mendekati 20.000, atau sekitar Rp20.000 triliun," ujar dia.
Baca Juga: Pekerja di IKN Nggak Usah Khawatir, Pajak Gaji Dibayarin Pemerintah
Dari hitungan kasarnya, jika memang PDB mencapai Rp20.000 triliun, berarti satu persennya adalah Rp200 triliun.
Artinya, jika betambah 2 persen Itu sama dengan 400 triliun, 3 persen itu 600 triliun. Dan 5 persen Itu berarti Sudah 1000 triliun
"Karena kalau Rp20.000 triliun berarti tuh 1 persen-nya kan kurangi aja 0 nya dua. Berarti 200 triliun, 1 persen," terangnya.
Baca Juga: Penerapan Pajak Karbon, Sri Mulyani: Dilakukan Bertahap dan Hati-Hati
Sementara, sekarang rasio pajak Indonesia terhadap PDB itu 11 persen. Jika dikalikan dengan jumlah PDB pada tahun 2022 berarti penerimaan rasio pajak Indonesia sekarang mencapai Rp2.145 triliun.
Jika tax ratio itu ingin ditingkatkan menjadi 23 persen. Artinya, kata dia pemerintah bakal nambah ribuan triliun. Hal itu dirasanya mustahil.
"Nambah berapa ribu triliun untuk naikinnya kan gamungkin, mau dari mana dalam waktu singkat?," tanya dia.
Baca Juga: Hasil RUPS, PLN Setor Dividen Rp2,19 Triliun dan Pajak Rp35,33 Triliun ke Negara
Kendati demikian, dia mengatakan target tax ratio mencapai 23 persen bukan berarti sesuatu yang buruk. Namun harus dihitung dengan matang dan menggunakan cara yang baik agar tetap realistis.
Poin pentingnya jangan sampai, target tax ratio digenjot tapi dengan cara menaikan tarif pajak dan menganggu perekonomian Indonesia.
"Ini kan tentang mimpi yang tinggi. Lalu kemudian dari mimpi yang tinggi menjdi alasan Untuk membuat anggaran belanja yang juga tinggi jadi gak realistis," tandas dia.