Bisnis

Petani Klaim Merugi, Buntut Pemerintah Naikan Harga Gabah

Serikat Petani Indonesia (SPI) mengeklaim pihaknya merugi buntut kebijakan pemerintah terkait harga batas atas pembelian gabah atau beras.

Featured-Image
NTP di Kalsel naik 1,31 persen pada Desember tahun lalu. Foto ilustrasi-Kominfo Jatim

bakabar.com, JAKARTA - Serikat Petani Indonesia (SPI) mengeklaim pihaknya merugi buntut kebijakan pemerintah terkait harga batas atas pembelian gabah atau beras. Pasalnya, tidak ada perwakilan dari petani bahkan dari Kementerian Pertanian yang turut andil dalam kebijakan tersebut.

“Sebaliknya, Bapanas justru melibatkan korporasi pangan, seperti Wilmar Padi. Keterlibatan dalam menentukan batas atas harga menjadi ruang bagi korporasi pangan skala besar untuk dapat membeli gabah dari petani dengan harga murah,” ujar Ketum SPI, Henry Saragih dalam keterangan resmi, Rabu (22/2).

Seperti diketahui, pemerintah melalui Bapanas mengeluarkan surat edaran terkait harga batas atas pembelian gabah atau beras. Melalui surat edaran No.47/TS.03.03/K/02/2023, Bapanas menetapkan batas atas harga pembelian gabah dan beras untuk mengendalikan laju harga gabah atau beras.

Henry menjelaskan, gabah murah dari petani ini lalu diolah dan didistribusikan dengan standart premium dan harga yang premium atau harga tinggi.

Baca Juga: Atasi Persoalan Pupuk Petani, Jokowi Resmikan Pabrik PT PIM Aceh

"Disepakatinya harga bawah sebesar Rp4.200 dan harga batas atas Rp4.550 ini akan merugikan petani, karena cenderung abai terhadap fakta-fakta bahwa terjadi peningkatan biaya produksi dan modal yang ditanggung petani,” terangnya.

Contohnya, sambung Henry, kenaikan harga pupuk, kenaikan sewa tanah, kenaikan biaya upah pekerja bagi petani yang tidak mengusahakan sawahnya sendiri.

“SPI sendiri sebelumnya sudah mengusulkan revisi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang terakhir direvisi tahun 2020, karena sudah tidak sesuai lagi dengan biaya yang ditanggung oleh petani,” imbuhnya.

Mengingat pertengahan tahun ini memasuki masa panen raya, penetapan harga yang layak menjadi sangat krusial.

Baca Juga: YLBHI Desak Polda Jawa Timur Bebaskan Petani Pakel yang Ditahan

“Usulan HPP kita Rp5.600 per Kg. Yang menjadi sorotan upah tenaga kerja, sewa lahan, dan sewa peralatan. Upah tenaga kerja sekarang Rp120.000 sampai Rp150.000 per hari, terus sewa lahan apa ada lahan yang disewakan Rp3 juta sampai Rp4 juta per hektare,” lanjutnya

Terlebih, sewa peralatan Rp400.000 per hektare, pada umumnya Rp1,5 juta. Lalu, biaya panen dihitung rata-rata Rp3 juta per hektare, bahkan di lain daerah masih ada biaya angkut.

Henry menilai, kebijakan ini akan memperburuk kesejahteraan petani dan juga merugikan konsumen di Indonesia.  

"Berkaca dari gejolak harga beras yang terjadi di Indonesia selama 2022 lalu, persoalan penyerapan beras untuk cadangan pemerintah menjadi salah satu permasalahan mendasar," ungkapnya.

Baca Juga: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan, Kalbar Buat Pupuk Secara Mandiri

Untuk itu, kata Henry, kebijakan penyerapan beras haruslah memperhatikan kesejahteraan petani dan konsumen.

“Dari sisi petani, harus ada jaminan harga yang layak sesuai dengan biaya yang ditanggung oleh petani. Sementara itu untuk pendistribusian kepada konsumen, perlu ada kontrol  mengenai didistribusi beras terhadap masyarakat,” pungkasnya.

Editor
Komentar
Banner
Banner