bakabar.com, JAKARTA - PT Pertamina (Persero) telah siap mengembangkan ekosistem baterai kendaraan listrik di Indonesia dengan stok cadangan nikel yang melimpah.
Direktur Utama PT Pertamina, Nicke Widyawati, meyakini langkah itu sejalan dengan perusahaan yang memiliki infrastruktur dan bisa dioptimalkan untuk penetrasi electric vehicle (EV) serta memiliki data segmentasi karakteristik, mobilitas, dan kemampuan membeli.
"Dengan cadangan nikel yang ada di Indonesia, kami bisa memproduksi baterai dan meningkatkan penetrasi EV," kata Nicke Widyawati di Paviliun Indonesia, World Economic Forum, di Davos, Swiss, dikutip Senin (23/1).
Ia juga mengatakan Pertamina memiliki lebih dari 7.400 SPBU, 6.100 Pertashop, dan 63.000 outlet LPG.
Baca Juga: Warung Tak Bisa Jual Gas 'Melon' Elpiji 3 Kg, Pertamina Beri Penjelasan
"Pertamina juga siap berkolaborasi dengan pihak lain dari berbagai negara untuk mengembangkan baterai EV dan mengoptimalkan infrastruktur yang dimiliki," tukasnya.
Komitmen itu juga sejalan dengan rekomendasi yang diajukan oleh Gugus Tugas Energi, Keberlanjutan dan Iklim B20 (Business 20-Task Force Energy, Sustainability, and Climate/B20-TF ESC) dengan salah satunya mengajukan rekomendasi kebijakan untuk mempercepat pengembangan ekosistem kendaraan listrik (EV).
"Kami mengusulkan beberapa rekomendasi kebijakan dan aksi kebijakan, terutama bagaimana mempercepat penetrasi EV di setiap negara," kata ungkapnya.
Dalam tersebut, untuk mempercepat penggunaan energi berkelanjutan, Pertamina menargetkan efisiensi energi, dengan elektrifikasi menjadi faktor penentu keberhasilan.
"Ada target efisiensi energi sisi permintaan, bagaimana mengelola efisiensi energi dari sisi permintaan, dan kami percaya elektrifikasi menjadi faktor kunci keberhasilan," imbuhnya.
Baca Juga: Pertamina Buka Suara Soal Sistem Penentuan Pembeli Pertalite dengan MyPertamina
Dalam acara yang bertema "Indonesia Economic Development Through Downstream Industries and Inclusive Partnership", Nicke menyoroti perlunya pembiayaan, terutama dari negara maju.
Mengingat transisi energi ke energi terbarukan membutuhkan investasi modal yang sangat besar sehingga diperlukan dukungan investasi dari negara maju.