bakabar.com, JAKARTA - PT Freeport Indonesia (PTFI) secara resmi mendapatkan perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga hingga Mei 2024 dari rencana sebelumnya yang akan disetop pada Juni 2023.
Perpanjangan izin ekspor itu diberikan pemerintah merespons proyek pembangunan fasilitas pemurnian smelter PTFI di Gresik, Jawa Timur yang masih molor hingga tahun depan dari target selesai Desember 2023.
Dilihat dari aspek ekonomi, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menegaskan, secara umum serapan dalam negeri terhadap mineral mentah masih minim. Itu membuktikan bahwa industri dalam negeri kita belum siap.
"Sehingga perlu adanya kelonggaran agar produksi mineral yang sudah ada dapat terserap dan kegiatan produksi dapat terus berjalan," ujarnya saat dihubungi bakabar.com, Senin (1/5).
Baca Juga: Izin Usaha Diperpanjang, Freeport: Siap Ikuti Arahan Pemerintah
Kelonggaran juga diperlukan agar terjadi keseimbangan ekonomi yang terjaga. Artinya, stok yang telah ada selama ini bisa disalurkan untuk menghasilkan arus kas pada perusahaan.
Dengan demikian, jika Freeport diperbolehkan mengekspor konsentrat tembaga hingga pertengahan 2024, hal itu jauh lebih baik, sembari menunggu selesainya pembangunan smelter di dalam negeri.
"Kegiatan produksi tetap berjalan, tenaga kerja terserap, dan pemerintah juga ada pendapatan baik dalam bentuk pajak dan BNPB," terang Komaidi.
Sebagai informasi, jika penangguhan operasional tambang Freeport terjadi, potensi kerugian bagi penerimaan negara, baik melalui pajak, dividen, dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) diperkirakan mencapai Rp57 triliun tahun ini.
Baca Juga: Izin Ekspor Freeport Diperpanjang, Bahlil: Kalau Tidak, Bisa Tutup!
Pemberlakukan larangan ekspor konsentrat tembaga Freeport juga berdampak terhadap berkurangnya pendapatan asli daerah sebesar Rp8,5 triliun per tahun. Pendapatan yang seharusnya bisa dinikmati oleh Kabupaten Mimika.
Di sisi lain, Komaidi menyoroti adanya ketidaksiapan infrastruktur dalam negeri (domestik). "Satu sisi ingin tegas melarang, tapi setelah dijalankan tidak ada solusi bagaimana menyerapnya," terangnya.
Karena itu, Komaidi mengingatkan bahwa berbicara soal kerugian merupakan hal yang sangat relatif. Pasalnya, jika tidak ada kelonggaran izin ekspor dari pemerintah, sementara kemampuan domestik menyerap produk mentah juga minim, hal tersebut justru berdampak terhadap produksi. Dalam kondisi terburuk, kegiatan produksi bisa terhenti.
"Jika produksi berhenti, tentu ada imbasnya terhadap tenaga kerja dan aspek ekonomi lain," ungkapnya.
Baca Juga: Perpanjangan Kontrak Freeport, Bahlil Ungkap Dua Syarat Mutlak
Lebih jauh, Komaidi mengimbau pemerintah agar memperhitungkan konsekuensi dengan dampaknya secara matang. Termasuk jika melarang ekspor, maka solusinya seperti apa.
"Sehingga yang diperlukan membuat roadmap yang matang dan tidak hanya sekedar melarang saja," pungkasnya.
Baru-baru ini, pemerintah akhirnya resmi memperpanjang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PT Freeport Indonesia. Dengan begitu, Freeport masih diizinkan untuk mengekspor konsentrat tembaga. Alasannya, progres pembagunan pemurnian (smelter) mineral mentah, hingga kini belum juga rampung.