News

Perjuangan Berliku Dayak Pitap Menjaga Tanah Leluhur

Ada kisah mistik, keserakahan korporasi, kerusakan alam, dan pengakuan yang tak kunjung diberikan

Featured-Image
Bersyukur: Masyarakat Dayak Pitap melaksanakan ritual aruh atas hasil panen yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Foto: bakabar.com/Riyad

Ada kisah mistik, keserakahan korporasi, kerusakan alam, dan pengakuan yang tak kunjung diberikan.

***

SEORANG kakek datang membawa peringatan ke alam mimpi Rahmadi. Jika nekat menyerahkan tanah adat ke perusahaan, maka kehancuran akan menimpa masyarakat.

Rahmadi adalah Kepala Adat Dayak Pitap periode 2000-2005. Setiap kali membicarakan mimpi itu, tubuhnya merinding.

Dia lupa, kapan mimpi itu pertama kali mendatangi tidurnya. Tapi mimpi itu terjadi berulang, ketika perusahaan datang silih berganti menyurvei perkampungannya.

"Ulun (saya) percaya itu pesan dari leluhur," kata Rahmadi ditemui di Desa Ajung, Tebing Tinggi, Balangan, Kalimantan Selatan (Kalsel) pada Senin akhir Desember 2023.

Bukan hanya mimpi, kejanggalan juga muncul. Sekitar 2006, seorang pekerja perusahaan tambang bijih besi mendadak meninggal. Menemui ajal setelah melakukan survei di sekitar situs keramat Pitap di Tanalang dan Batu Berani.

"Meninggal setelah pulang ke kampung halamannya di Bandung. Di tubuhnya seperti ada bekas terkena pukulan. Ulun tahu karena ada kawannya yang mengabari," tutur pria 55 tahun itu.

Sebelumnya, seorang pekerja juga mati secara misterius setelah membor di Tanalang. "Sewaktu mengebor, keluar air berwarna darah. Setelah itu, seorang pekerja meninggal. Kejadiannya sudah lama," tambahnya.

Mencari makna mimpi dan rentetan insiden itu, Rahmadi menemui seseorang bergelar Raja Ganap yang bermukim di Desa Lajar, Lampihong.

Orang hawas (orang pintar) itu berujar, musibah dan konflik besar akan melanda jika perusahaan diizinkan beroperasi di tanah adat Dayak Pitap.

"Ulun jadi makin yakin untuk menolak perusahaan-perusahaan yang ingin memasuki tanah kami," tegas Rahmadi.

Penghuni Meratus

Populasi Dayak Pitap berjumlah sekitar 1.670 jiwa. Komunitas kecil ini berhimpun pada 19 balai adat. Mendiami ulayat seluas 22.806 hektare.

Secara administrasi meliputi lima desa: Desa Dayak Pitap, Kambiayin, Langkap, Ajung, dan sebagian Desa Mayanau.

Kelima desa ini berada di Tebing Tinggi, Balangan. Dahulu, sebelum terjadi pemekaran kabupaten, wilayah ini masuk Hulu Sungai Utara (HSU).

Secara geografis, wilayah Pitap berada di bentangan Pegunungan Meratus. Kawasan ini memegang fungsi hidrologis yang penting. Menjadi hulu dari banyak sungai besar yang mengalir ke Kalsel.

Masalahnya, kawasan ini juga kaya dengan emas, bijih besi, dan batu bara. Sejak puluhan tahun silam, sejumlah perusahaan telah mencoba merambahnya.

Kotak Pandora

Berdasar data dokumentasi milik Walhi Kalsel, PT Fass Forest (FF) dari Daya Sakti Group mengantongi surat keputusan (SK) Hak Penguasaan Hutan (HPH) Nomor 174/kpts/um/3 yang diterbitkan 14 Maret 1980.

Berbekal dokumen HPH, FF dilegalkan mengeksploitasi hutan di wilayah adat Dayak Pitap.

Praktik deforestasi ini turut diiringi kisah horor. Tahun 1986, usai menebangi pohon, empat pekerja mendadak gila.

Pihak perusahaan meminta tokoh masyarakat Pitap untuk mengobati mereka berempat. Konon, dari sini terkuak, itu kutukan leluhur kepada mereka yang berani merambah hutan keramat.

Namun, bala tak hanya menimpa perusahaan. Pada 1987, muncul wabah diare yang menewaskan 17 warga. Penyakit itu diduga muncul akibat air sungai yang tercemar sebab tergerusnya hutan.

Rentetan kejadian buruk itu membuat nyali FF ciut dan memilih minggat.

Tetapi bencana terus menimpa masyarakat Pitap. Pada 1995 terjadi banjir bandang. Menghanyutkan gelondongan kayu sisa-sisa penggundulan hutan ke arah perkampungan.

Dua nyawa melayang, satu gedung sekolah rusak, empat jembatan gantung putus, hewan ternak hilang, dan cadangan gabah disapu banjir.

Tantangan untuk menjaga wilayah adat juga muncul dari internal masyarakat Pitap sendiri.

Saat krisis moneter 1997, camat setempat mengeluarkan surat pungutan desa untuk kegiatan penebangan. Surat tersebut menjadi legitimasi para penebang liar. Mereka cukup membayar Rp25 ribu/meter³ kayu pada pemerintahan desa.

Sejak itu, antar warga mulai saling curiga. Gesekan sosial tak terhindarkan. Perlahan tapi pasti, nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan rusak.

Usai reformasi, pada 1999, keluar HPH untuk PT Kodeco. Perusahaan ini mendapat izin Rencana Kerja Tahunan (RKT) sebagai kompensasi hutan produksi yang diubah menjadi kawasan Hutan Lindung Kapet Batulicin. Atau yang dikenal dengan istilah "tukar guling Hutan Lindung Meratus".

Sebagian lahan Kodeco merupakan bekas area FF yang ditinggalkan pada 1987. Pada waktu bersamaan, hadir perusahaan HPH lain, yakni PT Bina Alam Indah Lestari (BAIL).

Ekspansi Sawit

Sesudah era HPH, terbitlah izin ekspansi perkebunan sawit. Januari 1999, PT Malindo Jaya Diraja (MJD) menjadi buah bibir. Setelah mengantongi izin seluas 10.000 ha, di mana 4.500 ha-nya masuk wilayah adat Dayak Pitap.

MJD menggarap pembibitan sawit seluas 4 ha dari 150 ha yang direncanakan di Gunung Batu. Lokasi pembibitan itu hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari batas Dusun Iyam.

Pada Mei 2000, operasi perusahaan diresmikan dan dihadiri Bupati HSU, Suhailin Mohtar.

Jalan perusahaan telah dibangun sepanjang empat kilometer sampai ke Dusun Bayuana.

Kehadiran perusahaan asal Malaysia ini menjadi ‘penyakit’ baru bagi kehidupan penghuni Pegunungan Meratus.

Bijih Besi

Mei 2001, Pemkab HSU menandatangani kesepakatan kerja sama dengan investor asal Korea Utara, PT Han Iron Mining.

Korporasi pertambangan ini memiliki anak perusahaan, PT Sari Bumi Sinar Karya (SBSK) yang telah mengantongi izin konsesi sejak 1998 untuk mengeruk bijih besi di wilayah adat Dayak Pitap.

SBSK merencanakan eksploitasi di tiga zona seluas 990 ha. Lokasinya di wilayah keramat Pitap, di kaki Gunung Hauk Laki dan sebagian lagi di Gunung Hauk Bini.

Di sini ada perkebunan karet milik masyarakat. Jika nanti wilayah ini ditambang, tak menutup kemungkinan akan ada beberapa kampung yang digusur.

Perjuangan Masyarakat

Perjuangan masyarakat Dayak Pitap untuk mempertahankan tanahnya telah berlangsung sejak PT FF masuk. Namun, gerakannya belum masif dan masih parsial.

Baru pada 1999, perlawanan itu mulai terkoordinir, sejak beberapa aktivis Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) datang ke Desa Ajung.

Rahmadi bercerita, saban hari terjadi diskusi mendalam dengan Walhi Kalsel. Hingga pada 15-17 September 1999 di Balai Adat Ajung Hilir digelar pertemuan antar kampung. Masyarakat dari Dusun Ajung Hilir, Dusun Ajung Hulu, Dusun Nanai, Dusun Kambiyain dan Dusun Iyam berdialog.

Garis besar masalah ditemukan. Akses jalan darat yang sulit menjadi penghambat roda perekonomian masyarakat adat. Hasil bumi sulit dipasarkan, sementara barang dari luar menjadi mahal. Dalam kondisi serba susah, rayuan perusahaan menjadi teramat menggoda.

Masyarakat mulai bersatu. Memperkuat nilai adat. Melindungi hutan dari ancaman industri.

November 1999, kades mencabut surat persetujuan perkebunan sawit yang dibuat pendahulunya. Surat itu dikirim ke kantor PT MJD di Amuntai.

Mei 2000, sambung Rahmadi, beberapa tokoh Dayak Pitap didampingi Walhi berangkat ke Kotabaru untuk menemui komunitas Dayak Samihim.

Tujuannya, melihat langsung nasib masyarakat adat di sana yang terlanjur menyerahkan tanahnya ke perusahaan sawit. Di sana mereka menyaksikan pemandangan getir.

Dalam kunjungan itu, mereka mengetahui pola yang sama. Perusahaan mengumbar janji-janji manis.

"Iming-imingnya macam-macam. Dijanjikan lahan, dijanjikan pekerjaan. Segala godaan," kisah Rahmadi.

"Apalagi rayuan ke ulun sebagai kepala adat. Kalau lemah iman, pasti sudah mengiyakan. Ulun pernah dibawakan uang sekoper. Diiming-imingi gaji buta. Hanya cukup tanda tangan, tapi ulun kada (tidak) mau," sambungnya.

Rahmadi juga menyimak beratnya perjuangan masyarakat Samihim untuk merebut kembali haknya yang dirampas.

"Mereka (Samihim) bilang ke kami (Pitap), sebelum terjadi (ekspansi sawit), lebih baik kada usah sama sekali," katanya.

Perjalanan ke Kotabaru menjadi pelajaran berharga. Akhir Mei 2000, masyarakat Pitap kembali bertemu di Balai Ajung. Disepakati untuk menulis surat penolakan bersama terhadap perkebunan sawit.

Juga disepakati penghentian penebangan kayu untuk dijual, baik oleh orang luar maupun masyarakat sendiri. Larangan itu berlaku mulai 5 Juni 2000.

"Tak lama, 13 ribu bibit sawit di sini diangkut ke Pelaihari, Tanah Laut. Penebangan hutan juga berkurang," kenang Rahmadi.

Menyadari masih ada ancaman lain, aturan adat itu didokumentasikan. Peta wilayah adat dibuat. Rencana tata ruang dirancang berbasis hukum adat dan kondisi alam.

"Agar orang luar dan generasi selanjutnya bisa mengetahui aturan adat kami. Kami juga ingin keberadaan dan wilayah kami diakui negara," gumam Rahmadi.

Pada rentang akhir 2000 sampai awal 2001, beberapa kali digelar pertemuan antara masyarakat Pitap dengan Pemkab dan DPRD HSU.

Namun, pertengahan 2001, rencana pertambangan bijih besi PT SBSK semakin santer. Membuyarkan arah perjuangan.

Konsentrasi masyarakat Pitap beralih ke perlawanan lain. Sekali lagi, iman Rahmadi diuji.

"Tapi ulun menolak. Pokoknya selama ulun hidup, jangan ada tanah yang diserahkan ke perusahaan. Baik sawit atau tambang," tekannya.

November 2001, masyarakat berunjuk rasa ke pusat kabupaten. Dilanjutkan rembuk masyarakat pada 7-9 Maret 2002 yang menelurkan tujuh poin tuntutan.

Pertama, masyarakat adat Dayak Pitap menolak tegas aktivitas pengusaha lokal, nasional maupun luar negeri yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan kesengsaraan masyarakat.

Kedua, mendesak Pemkab dan DPRD HSU untuk merevisi Perda Nomor 15 Tahun 2000 yang tidak mengakomodir hak masyarakat dan lembaga adat.

Ketiga, ketika menyusun raperda, pemerintah harus selalu melibatkan masyarakat adat.

Keempat, menuntut pemerintah adil dalam menyelenggarakan pendidikan, kesehatan, dan pembangunan ekonomi masyarakat adat.

Kelima, mendesak pemerintah melindungi tanah ulayat.

Keenam, menghilangkan semua stigma yang merugikan. Seperti peladang liar, suku terpencil, suku terasing, dan orang primitif.

Terakhir, ketujuh, pemerintah dan dewan adalah pelayan masyarakat. Bukan penguasa.

Berkat kegigihan masyarakat, saat ini tidak ada lagi perusahaan yang berani bergerak di wilayah Pitap.

Bukan berarti Rahmadi bisa tidur tenang. Sebab konsesi itu masih berlaku. PT SBSK sampai 2029. Sedang PT MJD, disebut warga Pitap punya izin sampai 2030.

Mengacu data Walhi, ada dua perusahaan lain yang memegang konsesi di wilayah adat Dayak Pitap. Yakni PT Sinar Kemilau Abadi (perusahaan tambang batubara) sampai 2034 dan CV Razza Nugraha Agro (perusahaan tambang bijih besi) hingga 2030.

Hutan yang Sakral

Gotong Royong: Masyarakat Dayak Pitap melakukan ritual menanam padi di lahan melereng (manugal). Foto: bakabar.com/Riyad
Gotong Royong: Masyarakat Dayak Pitap melakukan ritual menanam padi di lahan melereng (manugal). Foto: bakabar.com/Riyad

Pertanyaannya, menolak sampai kapan? Rahmadi menjawab dengan tegas.

"Tanpa tambang atau sawit, kami tetap bisa hidup. Punya rumah, kendaraan, dan tabungan. Mampu menyekolahkan anak, bahkan sampai sarjana."

Masyarakat Dayak Pitap lebih memilih hidup sederhana, asalkan hutan tetap lestari.

Hutan itu sakral. Sumber penghidupan. Tempat berladang dan medan berburu. Tempat tanaman obat tumbuh.

Lebih dari ruang hidup, hutan memiliki makna spiritual. Ada banyak area hutan terlarang yang disakralkan.

Maka ketika hutan dibabat, ritus pun sirna. Sebab aruh memerlukan bahan-bahan dari hutan. Seperti enau, kelapa, bambu, lilin dari sarang lebah, dan dupa dari getah kayu.

Aruh adalah ungkapan syukur atas hasil panen padi. Maka ketika hutan dan ladang dikuasai korporasi, apa yang mesti dirayakan?

"Kalau tidak ada padi, apalagi yang akan diaruhkan? Praktis ritual adat menghilang," terang Rahmadi.

Negara dituntut hadir. Membantu perjuangan masyarakat Pitap dengan memberikan pengakuan.

"Usaha (meminta pengakuan) sudah kami tempuh sejak tahun 2000-an. Namun belum membuahkan hasil," ungkap Rahmadi.

Perkataan Rahmadi diaminkan Ulan, Kepala Adat Dayak Pitap periode 2006-2010.

Ketika ditemui akhir Desember 2023, kakek 72 tahun itu coba mengingat-ingat kembali ikhtiar masyarakatnya.

Bersama Walhi, mereka telah memetakan wilayah tanah ulayat. Harapannya, bisa diakui dengan diperdakan.

Namun, beberapa kali pertemuan berujung buntu. Birokrasi berbelit menjadi salah satu sebab.

"Di masa itu, gerak pemda sangat lamban. Diduga karena banyak kepentingan yang ada di belakangnya," kata Ulan.

Rencana penyusunan Rancangan Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) itu akhirnya benar-benar terhenti ketika terjadi pemekaran kabupaten.

Balangan lahir dengan terbitnya UU Nomor 2 Tahun 2003. Masyarakat Pitap tinggal di wilayah kabupaten muda ini.

Perjuangan berjalan mundur, kembali ke titik awal. "Benar-benar berhenti. Dokumen-dokumen kami entah ke mana," kata Ulan.

Dua dekade Perda PPMHA terpinggirkan. Hingga pada Juni 2019, DPRD dan Pemkab Balangan menyepakati pembahasan Raperda tentang Kelembagaan Adat Dayak.

Sayangnya, sampai akhir 2023, raperda itu tak kunjung disahkan.

Terbit Harapan

Kabar baik datang, harapan kembali muncul. Kamis 16 Desember 2023, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Balangan dan DLH Kalsel menggelar sosialisasi di Balai Adat Desa Kambiayin.

Terkait Perda Nomor 2 Tahun 2023 tentang PPMHA yang telah disahkan Pemprov Kalsel.

"Kata mereka, Pemkab Balangan diminta untuk segera membentuk panitia pembentukan masyarakat hukum adat (MHA)," terang Ulan.

Di Kambiayin, DLH juga mengidentifikasi data. "Kami tampilkan dokumen wilayah, hukum adat, benda bersejarah, dan data kekayaan sumber daya alam kami," beber Ulan.

"Setelah kami tunjukkan, kami tanya, apakah Dayak Pitap layak mendapat pengakuan? Mereka jawab sangat layak. Kami hanya diminta melengkapi beberapa dokumen lagi," tambah Ulan.

Sepekan kemudian, ada pertemuan lanjutan bersama pemkab. Dalam audiensi itu ada Kepala Adat Dayak Pitap, pengurus lembaga adat, sejumlah kades, Kepala Adat Dayak se-Balangan, dan pengurus AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Balangan.

Namun, bupati dan sekda tidak ada, hanya diwakili Bagian Hukum Setda Balangan, dua dinas, dan UPTD KPH Balangan.

"Kami bertanya, kapan panitia pembentukan MHA dibentuk? Kami meminta pembentukannya melibatkan para kades," kata Kepala Desa Kambiayin, Anang Suryani.

Jawaban pemerintah, regulasinya sedang dipelajari. Jawaban itu tidak memuaskan, tapi Anang maklum.

Dia tahu, prosesnya tidak akan sebentar, ditambah keterbatasan anggaran daerah. "Tapi harapan kami bisa segera. Kalau tidak perda, minimal ada SK penetapan dari bupati," pinta Ulan dan Anang.

Wakil Kepala Adat Dayak Pitap saat ini, Karah berharap, panitia MHA bisa secepatnya dibentuk.

"Perda ini mungkin butuh waktu lama. Mengingat perlu mengumpulkan dokumen dari seluruh masyarakat adat se-Balangan. Jadi kami berharap bisa diterbitkan SK bupati terlebih dahulu, khusus untuk Dayak Pitap," kata Karah.

Jawaban Pemerintah

Kepala DLH Kalsel, Hanifah Dwi Nirwana mengatakan Perda PPMHA dibuat untuk mengatur tata cara pengakuan MHA.

Untuk MHA yang wilayahnya lintas kabupaten, wewenangnya di pemprov. Sedangkan untuk MHA yang tinggal di satu kabupaten, cukup oleh pemkab.

"Sudah ada enam kabupaten yang membentuk kepanitiaan. Yaitu Tabalong, Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Tengah (HST), Tapin, Banjar, dan Tanah Bumbu," sebutnya.

Bagaimana dengan Balangan? Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Balangan, Syahbudin menyatakan komitmen untuk mempercepat penyusunan Raperda PPMHA.

Apalagi, perda lembaga adat sudah mulai dibahas antara eksekutif dan legislatif sejak 2019.

"Namun pada 2023 kemarin, saat di-register ke pemprov, ternyata ada subtansi yang tidak sesuai. Rencananya, pembahasannya akan dilanjutkan pada 2024. Judulnya kami ubah menjadi Perda PPMHA. Ini sudah diagendakan Badan Musyawarah (Banmus)," jelas Syihab, awal Januari tadi.

Kabag Persidangan dan Perundangan-undangan Sekretariat DPRD Balangan, Hasan Nor Arifin menambahkan, Perda PPMHA akan menaungi semua komunitas adat di Balangan.

"Tahun ini akan mulai dibahas di DPRD. Sudah masuk Propemperda 2024," kata Kabag Hukum Setda Balangan, M Roji secara terpisah.

Roji menjamin, Bupati Abdul Hadi sangat mendukung aspirasi masyarakat adat. "Meski kemarin beliau tidak hadir saat audiensi 22 Desember, karena ada kesibukan di Jakarta, tapi beliau titip salam," katanya.

Ditanya kendala, Roji menyebut waktu. Maka ia tak berani menargetkan kapan bisa selesai.

"Kami tidak berani menarget. Karena ini menyangkut instansi vertikal seperti Kemenkumham dan juga Kemendagri," ujarnya.

Perlu diketahui, pemberian pengakuan masyarakat adat menempuh beberapa tahapan: identifikasi, verifikasi, validasi, dan penetapan.

Peran Walhi

Walhi ikut mendorong pemerintah agar segera memberikan legalitas terhadap komunitas Dayak Pitap dan masyarakat adat lainnya di Balangan.

"Kami akan mengawal pengakuan MHA atas status wilayah adat Dayak Pitap," kata Manajer Penguatan Organisasi dan Manajemen Program Walhi Kalsel, Rudy Fahrianor.

"Supaya Perda PPMHA di Balangan cepat terelisasi, kami akan bantu fasilitasi komunitas adat lain di Balangan untuk mengumpulkan dokumen-dokumennya," imbuhnya.

Di samping itu, Walhi juga membantu pengembangan ekonomi masyarakat Pitap. Ini penting agar mereka bisa menepis godaan korporasi.

"Terdekat, kami sedang membentuk badan usaha milik desa (BumDes) di Kambiayin. Jika berhasil, akan kami kembangkan ke desa lain. Harapannya, masyarakat Dayak Pitap bisa berdikari secara ekonomi tanpa kehadiran perusahaan sawit dan tambang," tutupnya.

Terpisah, Ketua AMAN Kalsel, Robby berharap Perda PPMHA bisa menjadi jawaban dari masalah yang selama ini dihadapi masyarakat adat.

"Semoga bisa menjadi suntikan moral untuk pemkab lain agar segera menyusun perda serupa," ujarnya.

Dari data AMAN, di Bumi Lambung Mangkurat berdiri 237 balai adat. Dan baru satu yang diakui pemerintah, yakni Balai Adat Dayak Temanggung Anggut (Tamunih) lewat SK Bupati Tanah Bumbu.

Sedangkan Kotabaru dan HSS sudah memiliki Perda PPMHA, tapi masih dalam proses penjajakan penetapan masyarakat adatnya.

Sepertinya, perjalanan ini masih akan panjang. (*)

Editor


Komentar
Banner
Banner