bakabar.com, BARABAI - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menolak rencana perdagangan karbon di Hulu Sungai Tengah (HST).
Diketahui HST yang berada di wilayah Pegunungan Meratus, memiliki potensi karbon memadai. Bahkan pemerintah setempat sudah menggelar diskusi peluang perdagangan karbon beberapa waktu lalu.
Namun Ketua AMAN HST, Syahliwan, menegaskan menolak rencana perdagangan karbon tersebut. Sudah dapat dipastikan lokasi perdagangan karbon berada di perkampungan masyarakat adat.
"Alasannya status masyarakat adat setempat pun masih belum diakui sampai sekarang. Selama masyarakat adat belum diakui, kami jelas menolak," ungkap Syahliwan, Senin (4/12).
"Sebenarnya perda terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di HST sudah diusulkan sejak 2012 lalu. Namun setelah lebih dari satu dekade, persoalan ini tak kunjung dibahas," sambungnya.
Dibanding memperdagangkan karbon, AMAN HST lebih mendukung pemberdayaan potensi ekonomi di wilayah adat melalui sektor pangan, pariwisata, budidaya anggrek, hingga penangkaran hewan.
"Hal yang terpenting terkait infrastruktur. Sia-sia bicara potensi kalau infrastruktur belum terbangun dengan baik. Bahkan masih banyak wilayah adat yang hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki," tukas Syahliwan.
Sementara Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono, juga menegaskan agar keberadaan masyarakat adat perlu diakui dulu.
"Perdagangan karbon merupakan jalan sesat untuk mengatasi krisis iklim. Juga hanya modus untuk mempertahankan ekstraktivisme, finansialisasi alam, sembari melakukan praktik greenwashing," seru Kisworo.
"Sudah sejak dulu Walhi dengan tegas menolak ekstraktivisme yang menyebabkan krisis iklim dan krisis multidimensi di Indonesia," tutupnya.