Ekspor Pasir Laut

Pengelolaan Sedimentasi Laut, DFW Indonesia: Legalisasi Perusakan Laut

Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Sedimentasi laut pada 15 Mei 2023.

Featured-Image
DFW Indonesia mendesak Presiden JokoWidodo untuk mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah No 26/2023 tentangPengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Pencabutan ini didasari karena landasan, latar belakang,kebutuhan, dampak dan tujuan penerbitan PP ini tidak memenuhi aspek dan kaidah hukum,kebijakan publik, pertimbangan dan dampak lingkungan, ekologi, sosial, dan ekonomi. Foto: trenasia.com

bakabar.com, JAKARTA -  Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Sedimentasi Laut pada 15 Mei 2023.

Penerbitan peraturan pemerintah itu diduga kuat menjadi landasan bagi pemerintah untuk membuka keran penambangan dan ekspor pasir laut yang sudah dihentikan sejak tahun 2003.

Koordinator Nasional DFW Indonesia Mohamad Abdi Suhufan menilai penerbitan PP 26/2023 merupakan salah satu praktik pembentukan kebijakan yang tidak bijak atau Imprudent Policy.

Pernyataan ini, menurut Abdi, didasarkan pada beberapa hal. Pertama, rapuhnya landasan penyusunan PP 26/2023. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa
sebuah peraturan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan dibentuk berdasarkan kewenangan.

"Dalam konsideran PP 26/2023 disebutkan selain pasal 5 ayat 2 UUD 1945, satu-satunya rujukan PP adalah UU No. 32/2014 tentang kelautan," ujar Abdi dalam keterangan tertulis dikutip Minggu (4/6).

Baca Juga: KADIN Dukung Jokowi Soal Ekspor Pasir Laut dengan Sejumlah Catatan

Merujuk pada berbagai konsiderans tersebut, kata Abdi, tidak ada satupun diantaranya yang memerintahkan penerbitan peraturan pemerintah untuk melakukan peningkatan kesehatan laut dengan cara-cara yang merusak lingkungan.

Jika ditelaah lebih jauh dalam Pasal 27 Undang-undang No 32/2014 tentang Kelautan, untuk mengelola ekosistem pesisir dan laut yang ditujukan untuk pemulihan dari kerusakan lingkungan.

"Sedangkan PP yang secara spesifik mengatur soal Hasil Sedimentasi Laut bukanlah kebutuhan dalam upaya memulihkan kerusakan lingkungan. Dengan demikian, kebijakan ini dibuat tanpa prinsip dasar dan tujuan yang jelas bagi lingkungan dan ekosisitem laut," terangnya

Kedua, kebijakan tanpa data dukung dan kajian teknis. Selain berdasarkan pada perintah undang-undang, pembentukan PP haruslah didasarkan pada tahapan
kajian yang lengkap dan tranparan.

Baca Juga: Jokowi Izinkan Pasir Laut Diekspor, WALHI: Balik ke Zaman yang Hancur

Namun, hingga saat ini publik tidak dapat mengakses laporan, dokumentasi kajian, notulensi dan bukti ilmiah (kajian akademis) yang menggambarkan proses dan hasil yang memuat justifikasi hukum, sosial, lingkungan dan ekonomi atas terbitnya kebijakan ini.

Narasi pemerintah bahwa PP 26/2023 adalah upaya untuk 'pembersihan laut dari
sedimentasi' merupakan hal yang tidak masuk akal. "Sebab sejauh ini Kementerian
Kelautan dan Perikanan belum mempunyai data dan informasi tentang lokasi, potensi dan nilai hasil sedimentasi laut," ujarnya.

Secara serampangan, Kementerian Kelautan dan Kelautan menyebut angka 23-24 miliar kubik potensi sedimentasi di laut yang bisa dimanfaatkan, padahal belum ada survey, penelitian, laporan ilmiah yang menjelaskan hal tersebut.

"Artinya, tidak mungkin instrumen aturan pembersihan dapat dibuat tanpa data awal, urgensi, kebutuhan dan atau situsi mendesak yang mengharuskan hal ini segera dilakukan dan merupakan satu-satunya opsi kebijakan," kata Abdi.

Baca Juga: Greenpeace Desak Pemerintah Cabut PP 26/2023 Tentang Ekspor Pasir Laut

Sedimentasi laut yang diakibatkan oleh aktvitas oseanografi sejauh ini tidak signifikan menghasilkan substrat pasir untuk dimanfaatkan bagi kegiatan pembangunan termasuk reklamasi.

"Sedimentasi yang terjadi selama ini lebih dominan berasal dari daratan dan berbentuk lumpur," terangnya.

Ketiga, sejarah kelam masa lalu ekspor pasir laut. Momentum, maksud dan tujuan penerbitan PP 26/2023 sangat tidak tepat. PP 26/2023 seakan menarik mundur bandul sejarah setelah 20 tahun lalu, ketika Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Sumarno menghentikan ekspor pasir laut melalui SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.

Penghentian tersebut, menurut Abdi, disebabkan karena implikasi yang muncul dari kegiatan ekspor pasir laut telah menyebabkan kerusakan lingkungan pantai dan pesisir, abrasi, tenggelam dan hilangnya pulau kecil khususnya di pulau terluar-perbatasan Indonesia serta buruknya aspek tata kelola yang menimbulkan permasalahan hukum.

Baca Juga: Greenpeace Tolak Ajakan KKP Gabung di Tim Kajian Ekspor Pasir Laut

"Artinya, penerbitan PP 26/2023 saat ini dilakukan tanpa melakukan evaluasi atas kebijakan pelarangan ekspor pasir laut sebelumnya, implikasi yang muncul dan penolakan publik dalam beberapa hari terakhir ini," ungkapnya.

Keempat, ketiadaan urgensi dan tidak sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dari segi kebutuhan dan prioritas, PP 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut untuk kebutuhan pembangunan dan ekspor saat ini sangatlah tidak tepat. Mengingat selama ini Indonesia cukup aktif mempromosikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, Pembangunan berkelanjutan, Blue Economy, Konservasi dan Rehabilitasi Ekosistem, Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim.

Publik meragukan bahwa pengelolaan hasil sedimentasi laut hanya cover tapi terdapat maksud lain yaitu upaya melakukan pengambilan pasir di laut yang merupakan kegiatan ekstratif untuk meraup pendapatan jangka pendek.

"Juga mengindikasikan perspektif tata kelola jangka pendek dan lemahnya kapasitas serta strategi mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan," katanya.

Baca Juga: Ekspor Pasir Laut, Trenggono: Bisa Asal Kebutuhan Dalam Negeri Terpenuhi

Keuntungan jangka pendek tidak akan sebanding dengan kerusakan dan masalah yang didatangkan, termasuk ancaman abrasi dan tenggelamnya pulau, kekeruhan dan terganggunnya ekosistem dan biodiversity, potensi konflik dan terganggunya aktifitas mata pencaharian nelayan dan masyarakat sekitar.

Kelima, salah kaprah sedimentasi laut. Saat ini Indonesia mengalami ancaman perubahan iklim, di antaranya kenaikan muka air laut sebesar 0,3-,7 cm/tahun. Ada juga ancaman abrasi pantai di wilayah Kalimantan, Kepulauan Riau dan Utara Jawa rata-rata 1-10 meter/tahun.

Pada sisi lain, Bumi mempunyai mekanisme tersendiri untuk beradaptasi dan mencari titik keseimbangan. Di beberapa tempat terdapat material sedimentasi yang terbentuk dari akumulasi pasir dan sebagian gosong pasir karena hasil dan akumulasi proses pengangkatan dasar laut.

"Jika ini yang dianggap sebagai hasil sedimentasi dan kemudian menjadi lokasi pembersihan atau pengerukan dengan alasan pengelolaan hasil sedimentasi maka dipastikan akan menyebabkan abrasi pantai yang makin meningkat dan kerugian lingkungan," papar Abdi.

Baca Juga: Ekspor Pasir Laut, Kadin minta Pemerintah dan Pengusaha Bahas Aturannya

Jika terjadi abrasi, biaya pemulihan lingkungan menjadi harga yang sangat mahal, yakni mencapai Rp 6 juta/meter.

Keenam, sedimentasi akibat pemahnya pengendalian pembangunan di daratan. Pengelolaan hasil sedimentasi laut semestinya adalah upaya untuk mengurangi dampak proses sedimentasi di laut agar tidak menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut.

"Oleh karena itu yang harus dikelola dan kendalikan adalah bukan hasil sedimentasinya, tapi yang menyebabkan atau sumber sedimentasi tersebut yakni aktifitas dari hulu terutama kegiatan penambangan, perkebunan dan pembangunan reklamasi pesisir," katanya.

Memperbaiki dan membersihkan bagian hilir tanpa perbaikan di hulu akan
menjadi pekerjaan yang sia-sia sebab sedimentasi akibat pembangunan di daratan akan terus terjadi.

"Upaya untuk membersihkan laut akan jauh panggang dari api," tegas Abdi.

Baca Juga: Rusak Lingkungan dan Ekologi, Pengamat: Batalkan Izin Ekspor Pasir Laut

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, DFW Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut dan membatalkan Peraturan Pemerintah No 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.

Pencabutan ini didasari karena landasan, latar belakang, kebutuhan, dampak dan tujuan penerbitan PP ini tidak memenuhi aspek dan kaidah hukum, kebijakan publik, pertimbangan dan dampak lingkungan, ekologi, sosial, dan ekonomi.

Editor
Komentar
Banner
Banner