bakabar.com, JAKARTA - Presiden Jokowi menyampaikan kebijakan larangan ekspor bijih nikel, yang wujudnya berupa tanah dan air. Jokowi ingin menegaskan bahwa dilarang mengekspor tanah-air tanpa dihilirisasi di smelter dalam negeri. Bahkan Jokowi terus maju tak gentar melawan putusan WTO yang menentang kebijakan larangan ekspor bijih nikel.
Ironisnya, di tengah larangan ekspor bijih nikel, Jokowi justru mengeluarkan izin ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) 26 tahun 2023.
"Itu sungguh ironis, Presiden Jokowi sebaiknya membatalkan izin ekspor pasir laut karena berpotensi merusak lingkungan dan ekologi," ujar pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi kepada bakabar.com, Rabu (31/5).
Sebelumnya, pemerintahan era Presiden Megawati sudah melarang ekspor pasir laut pada tahun 2003 melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Baca Juga: Aturan Ekspor Pasir Laut, KNTI: Orientasi Utama Komersialisasi Laut
"Jokowi mestinya melanjutkan legasi kebijakan Presiden Megawati yang sudah melarang ekspor pasir laut sejak 20 tahun lalu," jelasnya
Namun, setelah 20 tahun saat mendekati perhelatan Pilpres dan Pileg, Jokowi justru membuka kembali keran ekspor pasir laut. Izin ekspor pasir laut menyebabkan kerusakan lingkungan dan ekologi yang lebih luas, dan juga membahayakan bagi rakyat pesisir laut,
"Bahkan pengerukan pasir laut secara ugal-ugalan akan menenggelaman pulau-pulau di sekitarnya," ujar Fahmy.
"Padahal, keuntungan ekonomi yang diterima Indonesia atas ekspor pasir laut itu, tidak setimpal dengan kerusakan lingkungan dan kerusakan ekologi yang akan terjadi," sambungnya.
Baca Juga: Ekspor Pasir Laut, Menko Marves: Yakin Tidak Rusak Lingkungan
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan pengerukan pasir laut tidak akan merusak lingkungan. Alasannya, pemerintah akan melakukan pengawasan ketat dengan menggunakan global positioning system (GPS).
Menanggapi itu, Fahmy menegaskan, pengusaha yang diberikan izin ekspor tentunya akan mengejar cuan sebesar-besarnya dengan melakukan pengerukan pasir laut secara ugal-ugalan. Pada situasi ini, kontrol menjadi sulit dilakukan.
"Apalagi permintaan pasir laut dari Singapura untuk reklamasi selalu meningkat," katanya.
Karena itu, menjadi ironi, ketika daratan Singapura bertambah luas, sementara wilayah Indonesia semakin mengecil seiring banyaknya pulau yang tenggelam.
"Itu akibat dari pengerukan pasir laut yang serampangan," pungkasnya.