bakabar.com, JAKARTA - Juru Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana mengklaim bahwa proyek food estate terbukti belum mampu mengakselerasi hasil panen.
"Berdasarkan data bahwa penggunaan alokasi anggaran yang cukup besar sebanyak Rp 1,5 triliun untuk proyek food estate di tahun 2021-2022, terbukti belum mampu mengakselerasi hasil panen," ungkapnya saat diskusi daring, dikutip Sabtu (4/3).
Hal itu terjadi akibat lahan yang ditanami sebagian besar merupakan lahan gambut yang selalu basah dan memiliki tingkat keasaman cukup tinggi, sehingga tidak cocok dengan komoditas pertanian skala besar.
Baca Juga: Jelang Panen Raya, Petani Buah Naga di Banyuwangi Khawatir Harga Anjlok
Dari riset yang dilakukan Pantau Gambut, empat wilayah Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Kalimantan Tengah terindikasi masuk ke dalam tingkat kerentanan tinggi (high risk) pada kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Diantaranya, 190.395 hektare pada KHG Sungai Kahayan-Sungai Sebangau yang termasuk ke dalam wilayah food estate juga berada dalam kondisi yang sama rentannya.
“Perlu dicatat bahwa hutan gambut yang dibuka untuk lumbung pangan dapat melepaskan emisi sekitar 427 ton karbon ke udara," ungkap Wahyu.
Terlebih lagi, ekosistem gambut yang rusak sangat sulit dan mahal untuk direstorasi, butuh waktu 10.000 tahun untuk pembentukannya.
"Pantau Gambut merekomendasikan agar pemerintah meninjau kembali regulasi proyek food estate dengan mempertimbangkan dampak kerusakan ekologi dan menurunnya kesejahteraan petani lokal sebagai efeknya,” terang Wahyu.