Pemilu 2024

Pemilih Perempuan Rawan Jadi Sasaran Politik Uang!

Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menyebut pemilih perempuan rawan menjadi sasaran politik uang

Featured-Image
Ilustrasi pemilih perempuan menggunakan hak pilihnya dalam gelaran pemilu. Foto: Litbang Kemendagri

bakabar.com, JAKARTA - Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati menyebut pemilih perempuan rawan menjadi sasaran politik uang di Pemilu 2024.

Hal ini merujuk pada hasil penelitian yang memposisikan kelompok perempuan yang berpeluang mudah 'disogok' demi memenangkan kontestasi politik.

"Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilih perempuan memang rentan terkena politik uang," kata Neni, Minggu (14/5).

Baca Juga: Cegah Keterbelahan Pemilu 2024, Ganjar Minta Pendukungnnya Tidak Sebarkan Hoaks

Neni menerangkan bahwa minimnya literasi tentang regulasi kepemiluan dan edukasi politik menjadi sumber utama terjadinya politik uang.

Maka perempuan menjadi kelompok sasaran empuk para politisi menggencarkan uang sebagai stimulus memenangkan kontestasi politik.

Dalam penelitian bertajuk 'Money Politics and Regression of Democracy: Women Voters Vulnerability in Transactional Politics (Case Study of 2020 Regional Elections In Indonesia)', ia terlebih dahulu melakukan pra-riset pada April – Mei 2021 lalu.

Dalam penelitian pra-riset ia menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menguji teori disonansi kognitif dengan melibatkan populasi yang memiliki karakteristik pemilih perempuan.

Baca Juga: Menebus Kegagalan, PBB Siap Menembus Parlemen di Pemilu 2024

Lalu pada riset dilakukan pada Juni — Desember 2021 dengan pendekatan campuran, yaitu menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penelitian tersebut lalu dipaparkan oleh Neni dalam acara "9th World Conference on Woman’s Studies 2023" di Bangkok, Thailand, Kamis (11/5) hingga Jumat (12/5) kemarin.

Berdasarkan penelitian itu, ia mengategorikan pemilih ke dalam lima tipe. Pertama, pemilih yang menikmati politik uang. Kedua, pemilih yang menolak politik uang, tetapi menerima politik uang. Ketiga, pemilih yang menolak politik uang dan menghindarinya, tetapi tidak mau melaporkan.

Berikutnya, pemilih menolak politik uang dan mau melaporkannya. Kelima, pemilih yang menyaksikan politik uang dan mengetahui informasi serta berani melaporkan.

Dari lima kategori tersebut, Neni menemukan kategori satu dan dua mendominasi pemilih yang menjadi subjek penelitiannya.

"Menariknya, pemilih yang menikmati politik uang serta pemilih yang menolak politik uang tetapi menerimanya yang paling mendominasi adalah pemilih perempuan. Selain itu, pemilih kita tidak lebih dari supporter, sebagaimana dalam permainan bola," kata Neni.

Baca Juga: Asa Fatwa Haram Politik Uang dari Ijtima Ulama Nusantara

Ia memandang kampanye bukan merupakan wadah untuk mencari pendidikan politik, mendalami visi dan misi calon, melainkan lebih untuk mendapatkan kaos dan uang transportasi.

Menurutnya praktik politik uang dan kerentanan pemilih perempuan menerima uang itu menjadi tantangan yang perlu ditaklukkan di Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024.

Ia menilai sosialisasi tentang larangan politik uang perlu dihadirkan secara lebih masif oleh penyelenggara pemilu dan pihak terkait lainnya, terutama kepada kelompok rentan seperti perempuan.

"Saya juga berharap partai politik bisa menjadi garda terdepan dalam memerangi dan memutus politik uang yang selama ini menjadi hal lumrah di masyarakat," kata dia.

Selain itu, tambah Neni, ke depan penyelenggara pemilu perlu memiliki data lokasi tempat pemungutan suara (TPS) yang rentan terhadap politik uang. Neni lalu mendorong peserta Pemilu Serentak 2024 untuk lebih mengedepankan politik gagasan daripada menghalalkan segala cara demi meraih kemenangan.

Editor


Komentar
Banner
Banner