bakabar.com, JAKARTA - Wakil Ketua Umum Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Syahputra Saragih menjelaskan, hadirnya perantara antara petani dan pedagang besar/ritel merupakan sesuatu hal yang wajar.
"Pada dasarnya perantara itu nature di bisnis ya. Dia hadir kan tidak mungkin petani langsung ngirim ke konsumen," ujarnya kepada bakabar.com, Selasa (11/7).
Ia menjelaskan, terkait mahalnya harga komoditas beras di pasaran diakibatkan oleh beberapa faktor, yakni kompetitifnya para pegadang perantara dan transportasi logistik yang digunakan.
Menurutnya, sistem logistik pertanian sejauh ini masih didominasi oleh transportasi darat. Padahal, harga pengiriman logistik melalui jalur laut tentunya jauh lebih murah.
Baca Juga: Persaingan Usaha Tidak Sehat, KPPU: Timbulkan Kesenjangan Sosial
"Ratio antara transportasi dan laut kita masih banyak darat, dan darat itu pasti lebih mahal," jelasnya.
Guntur menambahkan, "Kita belum berhasil melakukan switching dari darat ke laut. Karena biaya logistik termurah kan laut."
Sementara terkait dengan rencana pemerintah melakukan impor beras 1 juta ton dari India, menurut Guntur, hal itu hanya gertakan semata agar produktivitas hasil panen tetap stabil. Alasan lainnya, sebagai bentuk antisipasi atas dampak cuaca panas ekstrim atau El Nino.
"Itu kan jadi isu produktivitas hasil hasil tani, produktivitas pertanian kita, bagaimana upaya Menciptakan kesejahteraan bagi petani supaya petani mau menanam padi," ucap Guntur.
Baca Juga: Agripreneur, MenKopUKM: Hilirisasi Pertanian dan Ciptakan Wirausaha
Sebelumnya, eks Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, dikutip dari Detik, menyoroti panjang dan rumitnya tata niaga pangan di Indonesia. Hal itu terlihat dari banyaknya perantara antara petani dan pedagang besar/ritel.
Akibatnya pendapatan petani tetap rendah dan harga di pembeli tinggi sehingga menyumbang inflasi. Adapun perantara mengambil margin yang besar sehingga menggerus income petani dan meningkatkan harga di tingkat konsumen.
Hal itu sekaligus membuktikan adanya konflik kepentingan yang kerap terjadi antara pelaku usaha pangan modern (korporasi) dan petani tradisional (rakyat) yang berada di dalam satu lapangan.
Pelaku usaha pangan modern jauh lebih kuat, karena korporasi bisnisnya terintegrasi secara vertikal dari hulu ke hilir. Tak heran jika mereka memiliki market power yang besar, termasuk memiliki kemampuan untuk mengendalikan harga.