bakabar.com, JAKARTA - Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menilai menilai terdapat tendensi dari banyak pejabat pemerintah untuk menganggap wajar tingginya harga beras saat ini dengan alasan faktor El Nino.
Menurut dia, pemerintah juga menjadikan El Nino sebagai alasan di balik lonjakan impor beras sepanjang 2023 hingga sekarang.
"Mengkambinghitamkan El Nino semata-mata untuk tingginya harga beras dan masifnya impor adalah sebuah sesat pikir," ujar Yusuf yang dikutip dari tempo.co, Selasa (27/2/2024).
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo bersama Badan Pangan Nasional (Bapanas), dan Bulog kompak menyatakan bahwa kenaikan harga beras disebabkan El Nino. Untuk itu, pemerintah menggelontorkan beras lewat bantuan pangan atau bansos beras, program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), hingga Gerakan Pangan Murah.
Menutut Yusuf, El Nino adalah fenomena alam yang sudah diprediksi sejak lama. Sehingga, seharusnya sudah dimitigasi sehingga tidak ada alasan untuk menuding El Nino sebagai penyebab krisis beras saat ini.
Ia pun menilai kenaikan harga beras saat ini disebabkan oleh kurangnya pasokan dan ketersediaan pupuk bagi petani. Menurut Yusuf, faktor ini jarang disorot dalam persoalan krisis beras di Tanah Air. Padahal, kelangkaan pupuk berkontribusi besar bagi jatuhnya produktivitas lahan sawah.
IDEAS mencatat anggaran subsidi pupuk terus turun dalam 5 tahun terakhir, dari Rp 33,6 triliun pada 2018 menjadi Rp 25,3 triliun pada 2023.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo berjanji menambah anggaran subsidi pupuk 2024 yang Rp 26,7 triliun dengan tambahan alokasi hingga Rp 14 triliun. Tetapi, Yusuf menilai penambahan anggaran tidak banyak membantu memperbaiki situasi karena pupuk masih langka di petani.
Kombinasi dari kebijakan bansos atau bantuan pangan beras dan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras juga dinilai menjadi penyebab krisis beras saat ini. Yusuf mengatakan bansos beras di sepanjang 2023 telah menguras cadangan beras pemerintah (CBP) di Bulog hingga 1,4 juta ton. Kebijakan bantuan pangan beras ini dilanjutkan pada Januari - Maret 2024.
Masifnya penggunaan CBP, ucap Yusuf, telah menurunkan kemampuan Bulog untuk mengintervensi pasar hingga gagal menjaga harga beras sesuai HET. Ketika harga melambung melampaui HET, pemerintah bertahan tidak mau mengubah HET. Akibatnya, ritel modern enggan menjual beras yang dipatok harus sesuai HET.
Menurut dia, kelangkaan beras di pasar modern semakin memperburuk situasi pasar dan akan berpotensi memicu panic buying jika kelangkaan berlanjut. Panic buying merupakan perilaku pembelian mendadak untuk barang-barang konsumsi dalam kuantitas yang banyak sampai pada tahap penimbunan.
Faktor penyebab kenaikan harga beras yang paling fundamental, menurut Yusuf, adalah turunnya kapasitas produksi beras nasional yang konsisten terjadi dalam 5 tahun terakhir. Dia berujar kenaikan harga beras yang konsisten dalam 1,5 tahun terakhir jelas menandakan bahwa ada masalah dalam kapasitas produksi beras nasional.
Yusuf mencatat produksi beras Indonesia stagnan dalam 5 tahun terakhir dengan kecenderungan menurun. Produksi beras Indonesia turun dari 33,9 juta ton pada 2018 menjadi 31,5 juta ton pada 2022. Pada 2023, produksi beras pun anjlok dan diproyeksikan hanya 30,9 juta ton. Impor beras pada 2023 juga menjadi yang tertinggi dalam 25 tahun terakhir sejak impor beras 4,75 juta ton pada 1999.
Harga beras yang terus tinggi dan bahkan kini semakin bergejolak, tutur Yusuf, sebenarnya telah terjadi sejak pertengahan 2022. Sehingga, ia menilai kenaikan harga beras yang terus terjadi dalam 1,5 tahun terakhir ini memperlihatkan adanya masalah struktural yang serius
"Jadi menjadi absurd jika menyalahkan El Nino semata atas hal ini," ucapnya.tpo