Save Pulau Rupat

Nelayan Serukan 'Save Pulau Rupat' dan Tolak PP 26/2023

Puluhan nelayan dari Desa Suka Damai yang mayoritasnya Suku Akit menggelar aksi menyuarakan tuntutan penyelamatan Pulau Rupat dari ancaman tambang pasir laut.

Featured-Image
Puluhan nelayan dari Desa Suka Damai Kecamatan Rupat Utara menggelar aksi menyuarakan tuntutan penyelamatan Pulau Rupat dari ancaman tambang pasir laut, pada Senin (12/6). Foto: Walhi Riau

bakabar.com, JAKARTA - Puluhan nelayan dari Desa Suka Damai Kecamatan Rupat Utara yang mayoritasnya Suku Akit menggelar aksi untuk menyuarakan tuntutan penyelamatan Pulau Rupat dari ancaman tambang pasir laut, pada Senin (12/6).

Aksi yang dilaksanakan di sekitar Beting Aceh dan Pulau Babi, Rupat Utara itu merespons diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 yang memberikan ruang untuk menambang pasir laut dengan dalih sedimentasi. Nelayan Rupat juga menyerukan agar Gubernur Riau segera mengambil keputusan untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Logomas Utama.

Manajer Pengorganisasian dan Keadilan Iklim WALHI Riau Eko Yunanda mengungkapkan kegiatan PT Logomas Utama (LMU) terkait dengan pertambangan pasir laut. Diketahui perusahaan sempat menambang selama beberapa bulan, yakni sejak bulan September 2021 hingga Februari 2022.

"PT Logomas mendapatkan izin seluas 5.030 ha di perairan utara Pulau Rupat, tidak jauh dari Pulau Babi dan Beting Aceh." ujarnya kepada bakabar.com, Jumat (16/6).

Baca Juga: Jika Ditemukan Mineral dalam Pasir Laut, ESDM: Harus Mengajukan IUP

Belakangan aktivitas pertambangan PT LMU berhenti sementara karena tidak mengantongi dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) dari KKP. 

Aksi nelayan yang dilaksanakan di sekitar Beting Aceh dan Pulau Babi, Rupat Utara itu merespon diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 yang memberikan ruang untuk menambang pasir laut dengan dalih sedimentasi. Foto: Walhi Riau
Aksi nelayan yang dilaksanakan di sekitar Beting Aceh dan Pulau Babi, Rupat Utara itu merespon diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 yang memberikan ruang untuk menambang pasir laut dengan dalih sedimentasi. Foto: Walhi Riau

Sebelum berhenti, masyarakat beberapa kali memprotes keberadaan PT LMU karena dianggap mengganggu wilayah tangkap nelayan. PT LMU telah menyedot pasir laut yang merupakan tempat hidup ikan dan udang.

"Akibat penambangan tersebut, air mengeruh dan hasil tangkap nelayan berkurang drastis," ujarnya. Bahkan Pulau babi, Beting Tinggi dan Beting Aceh telah mengalami abrasi yang cukup tinggi.

Protes nelayan

Saat melakukan aksi terkait penyelamatan Pulau Rupat, para nelayan membentangkan beberapa spanduk dengan tulisan, di antaranya: selamatkan Pulau Rupat, Cabut IUP PT Logomas Utama, Cabut PP Nomor 26 Tahun 2023, Lindungi wilayah tangkap nelayan, Laut bukan ruang tambang, dan #Saverupat.

Baca Juga: Ekspor Pasir Laut, Menteri KP: Opsi Terakhir dalam PP 26/2023

Beberapa spanduk yang dibentangkan oleh para nelayan bertuliskan, di antaranya #SaveRupat. Foto: Walhi Riau
Beberapa spanduk yang dibentangkan oleh para nelayan bertuliskan, di antaranya #SaveRupat. Foto: Walhi Riau

Aksi bentang spanduk dilakukan nelayan di sekitar Beting Aceh, berjarak 2 km dari Pulau Rupat bagian Utara. Di sekitar Beting Aceh terdapat Beting Tinggi yang sempat hilang ketika PT LMU beraktivitas menyedot pasir laut.

Kempang, perwakilan nelayan dari Dusun Simpur, menjelaskan alasan mereka membentangkan spanduk tersebut. “Kami sebagai nelayan tradisional sangat menolak kehadiran tambang pasir laut karena dampaknya merugikan nelayan dan masyarakat Rupat secara umum,” katanya.

Senada, Andre, nelayan dari Dusun Suling, juga menyatakan keberatannya terhadap keberadaan tambang pasir laut di wilayahnya. Menurutnya, kehadiran PT LMU di perairan Rupat Utara sangat meresahkan.

“Aktivitas penyedotan pasir laut yang mereka lakukan dalam beberapa bulan saja telah membuat hasil tangkap nelayan turun drastis, apalagi jika mereka terus beroperasi hingga beberapa tahun nanti. Sudah pasti ikan habis, pulau kami pun rusak dan tenggelam,” terangnya.

Baca Juga: Ekspor Pasir Laut, Seskab: Tidak Semua Daerah Diperbolehkan

Aksi para nelayan itu bertujuan untuk mengingatkan pemerintah bahwa, baik Beting Aceh, Beting Tinggi, Beting Tiga, dan beting-beting lainnya adalah ekosistem penting yang harus dijaga dan tidak boleh ditambang.

Hal ini penting dilakukan sehubungan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Nelayan menilai PP tersebut berpotensi merugikan mereka.

Sedimentasi laut

Salah satu tuntutan nelayan adalah 'Cabut IUP PT Logomas Utama'. Nelayan keberatannya karena kehadiran perusahaan tersebut di perairan Rupat Utara sangat meresahkan. Foto: Walhi Riau
Salah satu tuntutan nelayan adalah 'Cabut IUP PT Logomas Utama'. Nelayan keberatannya karena kehadiran perusahaan tersebut di perairan Rupat Utara sangat meresahkan. Foto: Walhi Riau

Pakar llmu Kelautan dan Perikanan Universitas Riau Prof. Adnan Kasry dalam diskusi bersama WALHI Riau memaparkan bahwa sedimentasi berasal dari hasil erosi di Daerah Aliran Sungai (DAS) berupa tanah, lumpur, pasir dan mineral serta berbagai unsur kimia yang dibawa oleh aliran sungai ke muara (estuaria).

Material reklamasi jugadapat berasal dari pelapukan batuan di kawasan pantai dan dasar laut. Di kawasan estuaria yang kondisi geografisnya relatif datar, sebagian besar hasil erosi tersebut akan mengendap di kawasan estuaria membentuk timbunan lumpur dan pasir (beting).

Baca Juga: Ekspor Pasir Laut, Kadin Ingatkan Soal Dampak Lingkungan dan Sosial

"Beting ini lama kelamaan akan membesar dan terbentuklah pulau-pulau delta," ujarnya. Sedimentasi yang terbentuk di sekitar kawasan pantai akan menyebabkan terbentuknya daratan yang menyatu dengan daratan sekitarnya sehingga daratan pantai bertambah luas.

”Inilah yg disebut natural land reclamation, reklamasi tanpa campur tangan manusia dan tanpa biaya," jelas Prof. Adnan.

Sebagai contoh, reklamasi alami sudah terjadi lamadi Bagansiapiapi di muara sungai Rokan dan juga terjadi di muara sungai Kuantan, Indragiri Riau. Hal yang sama juga banyak terjadi di Utara Jawa dan Kalimantan.

"Kemungkinan sedimentasi itu diperlukan bagi organisme dasar (demersal), karena mengandung berbagai sumber makanan, sebagai habitat dan tempat pemijahan,” kata Prof Adnan.

Baca Juga: KADIN Dukung Jokowi Soal Ekspor Pasir Laut dengan Sejumlah Catatan

Ia juga memaparkan bahwa mangrove yang tumbuh di area sedimentasi justru lebih baik, karena sedimentasi menjadi habitat dan dasar bagi tumbuhan mangrove. Sedimentasi mengandung sumber makanan atau senyawa kimia yang dibutuhkan mangrove.

”Padang lamun di muara sungai juga diuntungkan dengan adanya sedimentasi,” ujar ahli manajemen lingkungan hidup UNRI.

Menurut Prof Adnan, fungsi beting lainnya, bisa mengubah arah arus. Beting yang sudah permanen memiliki fungsi lain untuk mengurangi abrasi yang terjadi di pulau.

”Apabila beting ini ditambang, yang paling dirugikan dari segi ekonomi adalah nelayan karena daerah tangkapan ikan yang akan hilang dan semakin jauhnya daerah tangkapan ikan,” terangnya.

Cabut PP Nomor 26 Tahun 2023

WALHI Riau bersama nelayan Pulau Rupat menuntut pemerintah, dalam hal ini Presiden untuk mencabut PP Nomor 26 Tahun 2023. Foto: Walhi Riau.
WALHI Riau bersama nelayan Pulau Rupat menuntut pemerintah, dalam hal ini Presiden untuk mencabut PP Nomor 26 Tahun 2023. Foto: Walhi Riau.

Koordinator Riset dan Kajian Kebijakan WALHI Riau Umi Ma’rufah mengungkapkan kekhawatiran yang disebutkan Prof Adnan telah terbukti ketika PT Logomas Utama beroperasi menyedot pasir laut di sekitar Pulau Babi dan Beting Aceh.

Baca Juga: Greenpeace Desak Pemerintah Cabut PP 26/2023 Tentang Ekspor Pasir Laut

”Aksi yang dilakukan oleh para nelayan itu sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang memberikan ruang untuk menambang pasir laut," katanya.

Hal itu jelas akan mengganggu wilayah tangkap nelayan dan habitat biota laut. "Selain itu akan membuat Pulau Rupat semakin rentan terkena abrasi sebab hilangnya beting-beting dan pulau kecil di sekitarnya,” kata Umi.

Lebih jauh, Umi menyatakan bahwa WALHI Riau bersama nelayan Pulau Rupat menuntut pemerintah, dalam hal ini Presiden untuk mencabut PP Nomor 26 Tahun 2023.

Baca Juga: Greenpeace Tolak Ajakan KKP Gabung di Tim Kajian Ekspor Pasir Laut

”Selain itu, kami juga mendorong agar Gubernur Riau, Syamsuar segera mencabut IUP PT Logomas Utama, karena berdasarkan Perpres Nomor 55 Tahun 2022 kewenangan itu sekarang berada di tangannya," jelasnya

Nelayan sangat berharap pemerintah bisa mendukung mereka yang ingin menyelamatkan Pulau Rupat dari ancaman kerusakan dan hilangnya sumber penghidupan.

Editor
Komentar
Banner
Banner