bakabar.com, JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas menyayangkan adanya bentrok yang terjadi di Rempang antar aparat keamanan dan warga.
Anwar menyebut tugas aparat Indonesia kini telah berubah. Aparat yang mestinya bertugas untuk melindungi masyarakat justru beringas berhadapan dengan masyarakatnya sendiri.
"Celakanya aparat yang tugasnya melindungi rakyat, sekarang mereka malah berubah fungsi, menjadi menggebuki dan memukuli rakyat," kata Anwar dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (16/9).
Baca Juga: Polisi Larang Keluarga Kunjungi Tersangka Kericuhan Pulau Rempang
Berubahnya fungsi aparat, menurutnya disokong kebijakan yang dibuat negara dengan dalih pembangunan untuk menyejahterakan masyarakat. Padahal dalam hal itu, sikap komunikatif perlu menjadi diterapkan.
"Karena yang dikejar oleh pemerintah tampaknya adalah pertumbuhan ekonomi dan kurang kepada dimensi pemerataannya sehingga akibatnya kita lihat rakyat marah seperti yang terlihat dan terjadi sekarang ini di Pulau Rempang, Kepulauan Riau," ungkapnya
Anwar menyebut jika selama ini pemerintah memang konsisten dengan amanat yang terdapat dalam konstutusi Undang-Undang Dasar 1945, kebijakan yang dibuat pasti akan merata. Bukan hanya masalah ekonomi yang dikejar, tapi kesejahteraan semua lapisan masyarakatnya juga berusaha dipenuhi.
"Sehingga kesenjangan sosial ekonomi masyarakat kita tidak semakin tajam," ujarnya.
Baca Juga: PBNU Dorong Pemerintah Selesaikan Masalah Rempang dengan Musyawarah
Sebelumnya, pada Kamis (7/9) satu pekan lalu warga Rempang bentrok dengan aparat gabungan TNI dan Polri. Peristiwa ini terjadi akibat konflik lahan atas rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City.
Warga yang sudah puluhan tahun tinggal di Rempang memang berdampak besar dalam pembangunan itu. Buntutnya banyak warga yang harus direlokasi demi pengembangan proyek tersebut menolak dan bentok tak dapat terhindar.
Sebagai kompensasi, pemerintah disebut telah menyiapkan rumah tipe 45 senilai Rp120 juta dengan luas tanah 500 meter persegi. Namun warga bersikukuh menolak proyek tersebut.
Warga di Pulau Rempang mengaku tak bisa melepas lahan yang telah ditinggali nenek moyang mereka sejak 1834. Para warga menolak melepas kampung yang memang sudah eksis sejak satu abad lebih itu.