bakabar.com, BARABAI - Peringatan Hari Ibu Nasional 2023, Jumat (22/12) menjadi momen penting untuk Nurul Huda.
Untuk kali pertama Nurul Huda menjakankan peran ganda sebagai Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Hulu Sungai Tengah (HST) periode 2023-2028, sekaligus ibu untuk kedua anaknya.
Mengingat Pemilu 2024 semakin dekat, dipastikan perhatian Nurul akan banyak tersita ke Bawaslu. Namun di sisi lain, Nurul tetap seorang ibu yang memiliki kewajiban mengurus rumah tangga.
"Sebagai perempuan yang memiliki peran sebagai ibu dan Ketua Bawaslu HST, saya berusaha semaksimal mungkin membagi waktu," tutur Nurul Huda ketika ditemui bakabar.com, Jumat (22/12).
"Memang setelah menjabat Ketua Bawaslu, kami dituntut bekerja penuh waktu. Memang terkadang saya sedih juga meninggalkan anak-anak yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian ibu," tambahnya.
Makanya setiap memiliki kesempatan, Nurul selalu berusaha menjalin kontak dengan anak melalui ponsel.
"Saya terbilang beruntung memiliki anak-anak yang mudah mengerti dan paham dengan pekerjaan ibu mereka," beber Nurul.
Sebelum menjabat Ketua Bawaslu HST, keterlibatan Nurul dalam badan adhoc penyelenggara pemilu diawali dengan menjadi anggota KPPS Pilkada 2025. Lalu menjadi anggota Panwaslu Kecamatan Batang Alai Utara dalam Pemilu 2019.
Karier Nurul terus menanjak, setelah dipercaya menjadi Ketua Panwaslu Kecamatan Batang Alai Utara dalam Pilkada 2020.
Perempuan dan Demokrasi
Meski harus membagi waktu antara tugas dan keluarga, Nurul menyadari bahwa peran perempuan dan demokrasi ibarat dua sisi dari keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
"Sedianya demokrasi sudah menempatkan masyarakat di posisi yang setara. Semuanya mendapatkan kesempatan yang sama tanpa sekat jenis kelamin, suku, dan agama," tegas Nurul.
"Namun demikian, keterlibatan perempuan yang ideal belum teraplikasi dengan baik. Di antaranya disebabkan faktor kultural, struktural dan instrumental," sambungnya.
Faktor kultural biasanya membuat perempuan sulit untuk memperluas aktivitas ke ranah publik karena budaya patriarki.
Begitupula dengan faktor struktural. Peran perempuan dalam pemerintahan kerap digunakan untuk pemenuhan syarat calon agar keterwakilan perempuan terpenuhi.
Sementara hambatan instrumental membuat perempuan sulit mempersiapkan diri menjadi bagian dari proses demokrasi.
"Menyikapi hambatan-hambatan itu, seharusnya sesama perempuan saling mendukung dan membangun. Diharapkan suara perempuan tidak kalah mendominasi dalam proses demokrasi," tutup Nurul.