Pengesahan UU PPRT

Merengkuh UU PPRT, Melepas Jerat Perbudakan

Desakan pengesahan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) sudah diujung tanduk. Dua dekade penantian, tidak sedikit kasus PRT yang menguap.

Featured-Image
Demo menuntut pengesahan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT). Foto: Dok. Liputan6. PPRT

bakabar.com, JAKARTA - Desakan pengesahan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) sudah diujung tanduk. Dua dekade penantian, tidak sedikit kasus PRT yang menguap dan butuh peran negara.

Dalam perjalanan advokasinya pekerja marginal ini kerap mengalami dinamika. Penggunaan tata bahasa pekerja juga bukan tanpa sebab, hal ini lantaran sejarah panjang diskriminasi terhadap mereka yang sudah ada sejak zaman mesir kuno.

Eufimisme PRT

Di Indonesia sendiri, sebutan pekerja rumah tangga masih terdengar asing. Pembantu, atau Asisten adalah dua sapaan yang mungkin lebih akrab di telinga pembaca.

Namun tahukah Anda, jika sebutan itu justru melanggengkan budaya perbudakan yang selama ini berusaha dicerabut?

Eva Sundari, Direktur Institute Sarinah di tengah kesibukannya mengemukakan jika penggunaan bahasa sangat penting untuk mendobrak stigma, terlebih Pekerja Rumah Tangga sudah masuk dalam ratifikasi ILO 189 sepuluh tahun lalu.

"Jangan sebut Asisten Rumah Tangga, karena ini pekerjaan, sebut Pekerja Rumah Tangga," beber Eva pada apahabar Kamis (22/12) saat ditanya perihal dinamika advokasi UU PPRT.

"Asisten sangat erat kaitannya dengan perbudakan, dan akan mendiskreditkan pekerja. Mereka itu bekerja, mencari upah, ini hubungannya adalah pekerja dan pemberi kerja," sambungnya.

Baca Juga: Suara Lantang di Depan Istana Merdeka: Sahkan RUU PPRT!

Perjuangan Masih Panjang

Pada penetapan Konvensi ILO 189 2011 silam, merupakan angin segar bagi Pekerja Rumah Tangga, sebab dengan konvensi ini, sebagai pekerja, mereka berhak mendapatkan hak-hak dan perlindungan tenaga kerja yang setara dengan semua pekerja lainnya.

Namun hingga hari ini, Indonesia masih belum juga menunjukkan lampu hijau atas nasib UU PPRT. Padahal kasus kekerasan dan eksploitasi pekerja rumah tangga bukan hal baru lagi.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan (2020), merekam setidaknya 34 kasus terkait PRT sepanjang 2019. Sementara pendokumentasian kasus dari Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2012-2019 terdapat lebih dari 3.219 kasus yang dialami oleh PRT.

Bentuk kekerasan yang dimaskud antara lain: kekerasan psikis (isolasi dan penyekapan), fisik, ekonomi (penahanan dokumen pribadi, gaji tidak dibayar, gaji karena sakit, tidak dibayar THR), dan perdagangan orang.

Bahkan, pada masa pandemi COVID-19, lapis kerentanan PRT kian bertambah dengan ancaman kehilangan pekerjaan tanpa gaji dan pesangon, eksklusi dari program jaring pengaman sosial dan kerentanan terinfeksi virus (Komnas Perempuan, 2020).

Sementara itu, Wakil Ketua Baleg DPR, Willy Aditya, tidak menjawab pesan maupun sambungan telepon apahabar, sampai artikel ini ditulis.

Editor


Komentar
Banner
Banner