bakabar.com, TANJUNG – Momentum hari libur peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW, 27 Rajab 2021, hari ini, lokasi wisata religi kerap jadi salah satu tujuan warga.
Salah satunya seperti di Makam Syekh Pangeran Muhammad Nafis di Desa Binturu RT 02, Kecamatan Kelua, Kabupaten Tabalong.
Memang, sejak pandemi Covid-19 melanda tahun lalu, lokasi wisata relegi di bawah pengelolaan Pemkab Tabalong ini sepi.
Meski demikian, pengelola tidak menutup kedatangan warga untuk berziarah ke makam Syekh Nafis.
Dari pantauan bakabar.com di lokasi Makam Syekh Nafis, pengunjung memang tidak pernah sepi. Akan tetapi, tidak sebanyak sebelum pandemi Covid-19.
Pengunjung masih bisa dihitung dengan jari dan rata-rata mereka berasal dari wilayah sekitar Tabalong.
Mereka datang ada yang menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat dengan rombongan keluarga.
Selama berziarah, pengunjung semuanya menggunakan masker. Di sisi lain di lokasi makam juga sudah tersedia tempat pencuci tangan.
Pemkab Tabalong telah menginstruksikan pengelola agar memerhatikan protokol kesehatan cegah Covid-19 kepada tiap pengunjung.
Salah seorang penziarah, Bani (42) warga Desa Kambitin, Kecamatan Tanjung, saat ditemui bakabar.com disela-sela ziarahnya mengatakan, dirinya datang bersama 8 orang kerabatnya.
Datang ke Makam Syekh Nafis ini karena ada nazar membawa anak yang kecil. “Kebetulan hari ini libur, jadi pas momennya ziarah ke Wali Allah, sekaligus menunaikan nazar, ” ujar Bani.
“Yang penting kita menerapkan protokol kesehatan, dan mengikuti aturan dari pengelola, ” jelas Bani.
Sosok Syekh Nafis
Mengutip dari berbagai literasi, nama lengkap dari Syekh Nafis adalah Muhammad Nafis bin Idris bin Husein.
Syekh Nafis lahir sekitar tahun 1148 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1735 Masehi, di Martapura, sekarang ibu kota Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Syekh Nafis berasal dari keluarga bangsawan Banjar yang garis silsilah dan keturunannya bersambung hingga Sultan Suriansyah (1527-1545 M).
Sultan Suriansyah merupakan Raja Banjar pertama yang memeluk agama Islam, yang dahulu bergelar Pangeran Samudera.
Sejak kecil, Syekh Muhammad Nafis memang sudah menunjukkan bakat dan kecerdasan yang tinggi dibanding dengan teman-teman sebayanya.
Bakat dan kecerdasan yang dimilikinya ini membuat Sultan Banjar tertarik. Sehingga, pada akhirnya Muhammad Nafis pun dikirim ke Makkah untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama.
Salah satu dari ilmu agama yang digelutinya, bahkan menjadikan ia populer adalah bidang tasawuf.
Sebagaimana halnya ulama Jawi (Indonesia) abad ke-17 dan ke-18 yang belajar di Makkah, Syekh Muhammad Nafis juga belajar pada para ulama terkenal, baik yang menetap maupun yang sewaktu-waktu berziarah dan mengajar di Haramain (Makkah dan Madinah) dalam berbagai cabang ilmu keislaman, seperti tafsir, fikih, hadits, ushuluddin (teologi), dan tasawuf.
Di antara gurunya dalam bidang ilmu tasawuf di Makkah adalah Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi al-Azhari (1150-1227 H/1737-1812 M), ulama tasawuf yang kemudian menduduki jabatan Syekh al-Islam dan Syekh al-Azhar sejak 1207 H/1794 M.
Dalam mempelajari tasawuf, Syekh Muhammad Nafis berhasil mencapai gelar ‘Syekh al-Mursyid’, gelar yang menunjukkan bahwa ia diperkenankan mengajar ilmu tasawuf dan tarekatnya kepada orang lain.
Setelah itu, ia pulang ke kampung halamannya, Martapura, pada 1210 H/1795 M.
Di antaranya karya tulis Syekh Nafis yakni Kanzus Sa'adah dan Ad-Durrun Nafis.
Kanzus Sa’adah yaitu kitab yang berisi tentang istilah-istilah ilmu tasawuf. Kitab ini belum pernah dicetak masih berupa manuskrip.
Sedangkan Ad-Durrun Nafis, yakni kitab yang berisi tentang pengesaan perbuatan, nama, sifat dan zat Tuhan.
Syekh Nafis diperkirakan wafat sekitar tahun 1812 M. Ia dimakamkan di Mahar Kuning, Desa Binturu, sekarang menjadi bagian desa dari Kecamatan Kelua, Kabupaten Tabalong.
Dan sekarang makam tersebut menjadi salah satu objek wisata relijius di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.