bakabar.com, JAKARTA - “Stasiun Manggarai udah kayak simulasi Train to Busan.” Demikian cuitan salah satu netizen di Twitter ketika menanggapi video berisikan perjuangan transit antar kereta api listrik (KRL) di stasiun tersebut.
Perumpamaan Stasiun Manggarai dengan film kenamaan Korea Selatan itu agaknya tak berlebihan. Sebab, perhentian kereta tersebut memang sangat padat; penumpang mesti berlari-larian untuk menuju peron berikutnya.
Terbukti dari sebuah video TikTok milik akun @dikss.ky, di mana memperlihatkan penumpang KRL lari-larian saat berpindah peron. Sang pemilik akun bahkan menambahkan caption, “Gue emang setia dalam berteman, tapi kalo transit di maggarai maaf kita urus hidup masing-masing.”
Digadang-Gadang Jadi Stasiun Sentral
Lautan manusia sejatinya bukanlah barang baru yang menghiasi pemandangan di Stasiun Manggarai. Hub kereta ini senantiasa dipadati para pencari nafkah dari daerah penyangga ibu kota, meski zaman silih berganti.
Sekira Juni lalu, Direktur Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Zulfikri, bahkan menyebut Stasiun Manggarai bakal menggantikan Stasiun Gambir sebagai ‘stasiun sentral’ mulai 2023 mendatang.
Nantinya, Stasiun Manggarai tak cuma mengoperasikan KRL Jabodetabek, tetapi mencakup perjalanan kereta api jarak jauh.
Stasiun Manggarai pun bukan sekadar tempat perhentian kereta, melainkan juga menyandang status bangunan cagar budaya, sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Ini berarti, Stasiun Manggarai memiliki nilai historis yang tinggi. Lantas, seperti apakah kisahnya itu?
Mulanya adalah Perkampungan Budak
Sebelum dibangun menjadi perhentian kereta api, daerah Manggarai, Jakarta Selatan – lokasi stasiun tersebut – dikenal sebagai ‘perkampungan budak.’
Kawasan tersebut sudah dikenal sejak abad ke-17 sebagai bagian dari Gementee – daerah setingkat kota – Meester Cornelis.
Manggarai lantas kian ramai dan berkembang menjadi sebuah kampung. Ketika itu pula, daerah ini dikenal sebagai tempat tinggal dan pasar budak asal Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Dibangun sejak Era Kolonial Belanda
Adapun infrastruktur kereta api di Manggarai, rupanya, sudah eksis sejak zaman penjajahan Belanda.
Melansir laman PT Kereta Api Indonesia, pembangunan ini mulanya dilakukan oleh perusahaan swasta bernama Nedherlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) yang menyediakan layanan dengan rute Jakarta-Buitenzorg (Bogor).
Selain itu, terdapat pula layanan kereta api rute Jakarta-Bekasi milik Bataviaasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS) yang dibangun pada 1899. Kedua rute itu lantas dibeli oleh perusahaan milik pemerintah, Staatssporwegen (SS).
Namun, kala itu, Stasiun Manggarai yang seperti sekarang belum eksis. Lokasi pemberhentian kereta api adalah Stasiun Bukit Duri – yang kini menjadi lokasi depo KRL.
Barulah usai SS mengambil alih rute kereta api, dilakukan penataan ulang yang mencakup pembongkaran Stasiun Bukit Duri dan pembangunan Stasiun Manggarai. Pembangunan ini dimulai pada 1914 dengan dikomandoi arsitek Belanda bernama. Ir. J. Van Gendt.
Proses pendiriannya pun banyak yang tak sesuai dengan rencana. Misalnya saja, seperti tiang peron yang semula dicanangkan menggunakan baja, malah diganti dengan kayu jati lantaran pasokan bahan terhalang Perang Dunia I.
Selang empat tahun berikutnya, tepatnya pada 1 Mei 1918, Stasiun Manggarai diresmikan. Sejak itulah, stasiun ini mulai melayani para penumpang kereta api.